Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermimpi Lewat Pupuk Padat Hayati

Kompas.com - 21/05/2010, 19:45 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Mengejutkan. Dari 20 pembicara yang hadir pada Kongres Guru Indonesia (2010) di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (20/5/2010), hanya Wahyu satu-satunya pembicara yang masih berpakaian "putih-abu-abu". Lainnya, kalau bukan praktisi pendidikan, semua pembicara itu adalah guru-guru yang makalahnya berhasil terpilih untuk dipresentasikan pada kongres tersebut.

Wahyu E.N. Repi, siswa tersebut, mengaku, keberaniannya memberikan presentasi itu berkat kepala sekolahnya yang telah memberi kepercayaan sejak dia dan teman-teman satu timnya menciptakan Pupuk Padat Hayati. Pupuk hasil olahan limbah organik itulah yang kemudian membawa siswa kelas 2 IPA SMAN 7 Manado ini ke KGI dan mempresentasikannya di depan ratusan peserta kongres.

"Pupuk organik sudah banyak yang bisa membuatnya, untuk itulah kami berusaha lebih inovatif lagi dengan tambahan komposisi berupa rumput laut sisa panen petani dan kokopit, yaitu serabut kelapa yang dibakar. Nyiur kelapa itu kan ciri khas Sulawesi Utara, kami ingin pupuk padat ini menjadi ciri khas kami," ucap remaja kelahiran Manado 13 November 1993 ini.

Bukan ide baru

Pupuk Padat Hayati yang dihasilkan oleh Wahyu dan teman-temannya yang menamakan diri "Green Community" itu adalah suatu pengolahan beragam jenis limbah dari tumbuh-tumbuhan, yang dibantu leh bermacam limbah ternak maupun biokatalisator dan bioaktivator, yaitu ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) dan Sarulaba (sari rumput dan bawang merah).

"Inovasinya dimulai dengan upaya kami menyatukan 100 hormon tumbuhan, yaitu pucuk-pucuk sampah daun. Untuk satu spesies tanaman kami ambil lima pucuk dan mengambilnya saat hari masih subuh, agar belum terkena sinar matahari," ujar Wahyu.

Setelah itu, tutur Wahyu, limbah pucuk tersebut dicampur dengan rumput laut sisa panen petani rumput laut di pantai dan direndam di air. Usai cukup direndam, campuran limbah tersebut lalu dihaluskan dengan lesung dan kemudian difermentasi menggunakan EM4 atau bioaktivator.

"Harga EM4 di Manado itu mahal, sebotol Rp 27.500. Supaya hemat, kami buat sendiri setelah belajar dari Yayasan Kirai yang memberikan kami pelatihan," tutur putra pasangan J.A Alexander Repi dan R.R Sri R. Madurini ini.

Setelah proses pencampuran dengan EM4, limbah tersebut masih berbentuk cair. Untuk memadatkannya, Wahyu kembali mencampurnya dengan kotoran-kotoran hewan dari lima jenis hewan berbeda, ditambah dedak, arang kayu, arang sekam, sarulaba, serta kokopit

"Ini merupakan perkawinan hormon-hormon organik. Hasilnya sudah terbukti, 4 kali lebih baik dari perkembangan tanaman cabai menggunakan media tanah biasa sebagai kontrolnya dan 3 kali lebih bagus dari perkembangan tanaman cabai memakai pupuk kompos cara Kaspari," kata Wahyu. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com