Eti mengaku jatuh cinta pada tari tortor. Atau, tepatnya, dengan budaya dan tradisi Batak. Empat hari latihan tari tortor membuat ia menemukan sisi lain identitas diri dan tanggung jawabnya sebagai generasi muda Batak. Hal itu adalah ikut menjaga budaya dan tradisi Batak.
Generasi tua Batak, seperti Rustina Napitupulu (56), Maningar Sitorus (41), hingga Masrina, gelisah karena generasi muda mulai meninggalkan budaya dan tradisi Batak. Anak-anak lebih suka menyanyikan lagu Barat daripada lagu tradisional Batak. Anak-anak sekolah tak kenal lagi bahasa halus Batak.
Seperti pengakuan Andrino Pardomoan Sihombing (15), siswa sebuah SMP negeri di Toba Samosir. Dua kali seminggu dia menerima pelajaran bahasa daerah Batak. Namun, dia tidak pernah diajar membaca aksara Batak. Dia pun tak mengenal tradisi mangandung (meratap), lagu-lagu nenek moyang Batak (marhasapi/hasapi), ataupun gerakan tari tortor. Marmoncak (seni bela diri asli Batak) tak pernah dilihatnya. Dia lebih kenal film dan sinetron.
Andrino adalah contoh generasi muda Batak yang mulai jauh dari budaya dan tradisi Batak.
Untuk itu, kurikulum sekolah tentang budaya dan tradisi Batak harus diperbanyak guna menanamkan rasa cinta generasi muda pada budaya dan tradisinya. Ini tentu tidak hanya berlaku pada Batak, semua daerah perlu melakukan. Globalisasi kerap membuat orang minder dengan budaya dan tradisi sendiri. Itu harus diperangi.
Eti dan Candra makin mencintai tradisi setelah empat hari belajar tortor. Jika pendekatan serupa dilakukan setiap hari, setiap bulan, dan setiap tahun, tumbuhlah jutaan Eti lainnya. (Mohammad Hilmi Faiq)