Surabaya, Kompas -
”Kami menyadari putusan MK soal UU Penodaan Agama akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Hal itu wajar,” kata Mahfud, seperti dikutip Antara, di Surabaya, Minggu.
Pemohon uji materi UU No 1/PNPS/1965 itu adalah sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Imparsial, Demos, Elsam, dan PBHI, termasuk tokoh-tokoh seperti KH Abdurrahman Wahid dan M Dawam Rahardjo. Pemohon menilai, UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 mengenai kebebasan beragama.
Setelah berbicara dalam seminar tentang ”Hukum Beracara” di Surabaya, Mahfud MD menegaskan, putusan yang bakal diambil berdasarkan bukti-bukti di persidangan dan hakim konstitusi sama sekali mengabaikan hal- hal di luar persidangan.
”Surat, SMS (pesan singkat), protes, dan lain sebagainya akan kami buang karena kami hanya mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan,” katanya.
Menurut dia, dasar memutuskan undang-undang itu berpijak pada ayat-ayat konstitusi, bukan ayat-ayat agama, sebagaimana didengungkan sekelompok organisasi keagamaan selama ini.
”Kami akan memberikan penekanan, bagaimana konstitusi menyatakan agama sebagai hak asasi,” kata Mahfud.
Sebelumnya, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Benny Susetyo berharap, MK bersikap sebagai negarawan yang mampu memutuskan berdasarkan ketentuan konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
Budayawan Garin Nugroho menyesalkan tidak ada tokoh agama yang juga negarawan, sebagaimana dilakoni mendiang KH Abdurrahman Wahid. Menurut dia, banyak tokoh agama yang terlalu mempertimbangkan situasi demi kepopuleran. ”Pemimpin kita kehilangan kenegarawanan,” kata Garin.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi berpendapat, pada dasarnya negara tidak berhak mengatur agama berkaitan dengan akidah. Sementara berkaitan dengan ekspresi beragama negara boleh campur tangan.(edn/fer/ana)