Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Efek Ketidakhadiran Ayah: Buruk!

Kompas.com - 02/04/2010, 09:15 WIB

Hal itu terjadi akibat perceraian ataupun lemahnya komitmen ayah terhadap proses tumbuh kembang anak. Lain dengan di Barat, orangtua yang bercerai masih bisa berbagi dalam hal mengurusi anak, di Indonesia perceraian umumnya tidak memerhatikan hak anak. Kalaupun ada perhatian, sebatas soal biaya anak yang dikemukakan. Karena itu, kalau terjadi perceraian, biasanya anak kehilangan salah satu orangtuanya.

Berdampak buruk
Ada sejumlah hasil penelitian yang memperlihatkan efek ketidakhadiran ayah, seperti dikutip menweb.org. Dalam studi yang dilakukan oleh Kalter dan Rembar dari Children’s Psychiatric Hospital, University of Michigan, AS, dari 144 sampel anak dan remaja awal yang orangtuanya bercerai, ditemukan tiga masalah utama.

Sebanyak 63 persen anak mengalami problem psikologis subyektif, seperti gelisah, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan depresi. Sebanyak 56 persen kemampuan berprestasinya rendah atau di bawah kemampuan yang pernah mereka capai pada masa sebelumnya. Sebanyak 43 persen melakukan agresi terhadap orangtua.

Dalam studi yang dilakukan khusus terhadap anak-anak perempuan, ditemukan hasil yang kurang lebih sama: 69 persen mengalami problem psikologis, 47 persen punya masalah akademis, dan 41 persen melakukan agresi terhadap orangtuanya.

Dalam Journal of Divorce Harvard University, AS, Rebecca L Drill, PhD, mengatakan, "Akibat perceraian orangtua dan absennya ayah, setelah itu memiliki dampak luar biasa negatif terhadap perasaan anak. Sebagai contoh, perceraian orangtua dan kehilangan ayah terbukti berkaitan erat dengan kesulitan anak melakukan penyesuaian di sekolah, penyesuaian sosial, dan penyesuaian pribadi.”

Singkat kata, tanpa mengabaikan hasil-hasil penelitian lain yang memperlihatkan bahwa anak yang orangtuanya bercerai dapat berhasil dalam hidupnya, absennya figur ayah dalam kehidupan anak memiliki dampak yang buruk terhadap anak. Karena itu, sebaiknya para ayah tidak under estimate atau menilai diri terlalu rendah menyangkut perannya dalam proses tumbuh kembang anak.

Mulai hari ini
Jika Anda, para ayah, merasa memiliki komitmen yang rendah terhadap proses pendidikan anak sehingga hubungan antara ayah dan anak menjadi kurang dekat, buang jauh-jauh ide "sudah telanjur” dari benak Anda!

Prof Rob Palkovitz, konselor dan penulis buku tentang keterlibatan ayah, mengingatkan, "Hentikan berpikir tentang masa lalu dan pusatkan perhatian Anda pada ke mana Anda ingin melangkah!”

Berikut ini beberapa saran Palkovitz berdasarkan hasil risetnya, interaksinya dengan empat anaknya, dan pengalamannya membantu anak-anak yang ayahnya absen dari sisi mereka:

1.    Pusatkan perhatian pada hal-hal yang benar dan positif bagi Anda dan anak. Sebagai contoh, katakan kepada diri Anda sendiri, "Betapa membanggakannya Ayah bekerja keras untuk menghidupi keluarga,” tanpa tambahan apa pun, dan betapa berbedanya kalau ada tambahan, "Tetapi, alangkah lebih baiknya kalau Ayah lebih sering berada di rumah." Sebaliknya, bicaralah kepada anak Anda, "Betapa bangganya menjadi ayahmu, Nak,” tanpa pernah menambahkan kalimat, “Tetapi, akan lebih membanggakan kalau kamu bisa membereskan kamarmu.” Jika Anda dapat memahami kedua hal tersebut, berarti dua langkah membangun hubungan sudah Anda lalui.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com