Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tui-Khim dan Celana Komprang Berganti Jas dan Pantalon

Kompas.com - 23/02/2010, 10:40 WIB

KOMPAS.COM — Jika dalam tulisan sebelum ini perwakilan Pecinan Jakarta muncul dalam bentuk artikel tentang bangunan tua berarsitektur khas Tionghoa, masih dalam rangka Imlek dan menjelang Cap Go Meh, beberapa kisah pendek lain tentang budaya Tionghoa masih akan bergulir. Sekadar mengingatkan dan memberikan pencerahan bagi pembaca yang boleh jadi terlupa atau masih agak asing dengan Pecinan atau budaya Tionghoa.

Hari ini, setelah perbincangan singkat dengan David Kwa, pengamat budaya Tionghoa peranakan, budaya Tionghoa peranakan masih akan jadi bahan tulisan. Akan saya mulai dengan apa itu Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok.

Tionghoa totok adalah masyarakat Tionghoa yang masih kuat memegang budaya nenek moyangnya, dari urusan berbahasa sampai masak-memasak. Sementara itu, Tionghoa peranakan umumnya tak lagi berbahasa Tionghoa, tapi melebur dalam bahasa di mana ia tinggal. Kaum peranakan inilah yang kemudian menciptakan kuliner peranakan, percampuran antara cara memasak Tionghoa dan lokal—kuliner peranakan inilah yang kemudian banyak tumbuh di Pecinan dan digemari khalayak.

Selain kuliner, menurut David Kwa, pakaian peranakan (baba-nyonya) dipengaruhi berbagai budaya di Nusantara dan Belanda yang pada akhirnya juga memengaruhi model pakaian perempuan Indonesia. Golongan bukan Eropa dilarang memakai papakean atau pakaian Barat dan para prianya memotong thaucang (kepang/kuncir).  Larangan ini dihapus pada 1911.

Hingga awal abad ke-20 pria Tionghoa peranakan masih menggunakan kostum Tionghoa, yaitu tui-khim dan celana komprang (longgar) untuk sehari-hari. Di kalangan warga Betawi, baju ini juga dipakai dan dikenal dengan baju tikim. Baju ini seperti baju koko, bukaan di tengah dengan lima kancing. Padanannya, celana batik. Untuk acara khusus dikenal thng-sa (baju panjang), sepanjang mata kaki.

Sementara itu, lanjut David Kwa, celana komprang adalah celana yang potongannya sangat lebar, tanpa tali kolor, jadi hanya dilipat di pinggang dan dikencangkan dengan angkin (ikat pinggang dari kain)seperti celana tukang sate Madura. Selain itu ada pula celana phang-si atau pangsi. Tak hanya baba yang pakai celana bikinan China ini, tapi juga pria Betawi.

Pakaian para baba mulai bergaya Eropa atau Belanda sejak berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK)-Perhimpunan Tionghoa, perhimpunan modern pertama di Hindia Belanda pada 1900. Kemudian runtuhnya Dinasti Cheng (Mancu) pada 1911 serta makin banyak pria Tionghoa yang diperbolehkan menggunakan papakean Belanda setelah mengajukan gelijkstelling (persamaan hak dengan warga Eropa), maka mode baju tui-khim, celana komprang, dan thng-sa mulai ditinggalkan, berganti dengan papakean gaya Eropa, kemeja, pantalon, dan jas buka serta jas tutup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com