Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebebasan dalam Bayang Ambiguitas Masyarakat

Kompas.com - 11/01/2010, 07:36 WIB

BE Julianery

KOMPAS.com - Lebih dari satu dasawarsa gerak demokratisasi berjalan, belum juga tercapai suatu kesepakatan solid mengenai pemaknaan kebebasan berekspresi. Terbukti, penyikapan ambigu diekspresikan masyarakat dalam menilai perlu tidaknya dilakukan pelarangan berbagai hasil karya cipta yang terpublikasikan.

Buku akan membuka serta memperluas pikiranmu dan membuat engkau jadi tangguh. Tak ada yang lain yang dapat membuatmu seperti itu,” kata penulis asal Amerika Serikat, William Feather. Tak ada orang yang membantah Feather, barangkali. Namun, buku dan juga beragam karya pemikiran lain, seperti film dan pertunjukan seni, yang sering dipandang sebagai rekaman peradaban manusia, pada suatu saat dapat pula dinilai sebagai ”barang berbahaya” yang harus dilarang peredarannya.

Di Indonesia, pikiran seperti ini hidup dan dijelmakan menjadi ketentuan hukum. Pelarangan buku, dan juga film, menjadi hal yang amat lazim pada masa pemerintahan Orde Lama serta Orde Baru. Namun, model pasungan semacam ini toh terjadi pula pada era kini, era saat kebebasan berekspresi yang menjadi simbol reformasi di negeri ini tengah berlangsung.

Buktinya, pada pengujung tahun 2009, lima buku, yaitu Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (karya John Rossa); Suara Gereja Bagi Umat Tertindas, Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (penulis Socratez Sofyan Yoman); Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (penulis Dwi Aria Yulinatri dan Muhidin M Dahlan); Enam Jalan Menuju Tuhan (penulis Darmawan); dan Mengungkap Misteri Keberadaan Agama (penulis Syahruddin Ahmad), dilarang peredarannya.

Seakan melengkapi pasungan Kejaksaan Agung terhadap buku, Lembaga Sensor Film (LSF) pun diberitakan menghentikan peredaran film Balibo Five, film asal Australia yang bercerita tentang hilangnya lima wartawan Australia saat meliput konflik bersenjata di Timor Timur pada 1975. Kisah-kisah pemasungan semacam ini akan semakin panjang lagi jika ditambahkan beberapa peristiwa pelarangan film, buku, ataupun karya pertunjukan seni lainnya yang dilakukan oleh lembaga nonkenegaraan, seperti lembaga keagamaan, adat, ataupun lembaga kemasyarakatan yang tumbuh subur di berbagai pelosok negeri.

Tafsir kebebasan

Berbagai upaya pemasungan yang dilakukan oleh lembaga negara ataupun institusi kemasyarakatan mengindikasikan belum sepenuhnya makna kebebasan berekspresi itu tersemai dan tumbuh subur di negeri ini. Tampaknya masih terdapat perbedaan yang kontras mengenai pemaknaan kebebasan berekspresi itu dalam setiap elemen di negeri ini. Di satu pihak, bisa jadi kebebasan berekspresi dimaknai sebagai suatu kemutlakan yang harus terwujud dalam setiap aspek kehidupan sosial tanpa adanya batasan, apalagi pelarangan. Namun, di pihak lain, bisa pula menolak kemutlakan semacam ini dan memandang perlunya pembatasan dari suatu kebebasan.

Di mata masyarakat, sebagaimana yang terekam dalam hasil jajak pendapat Kompas, dua pola penyikapan semacam ini juga terjadi. Kendati sebagian besar responden tampaknya lebih bersikap progresif, mendukung kebebasan berekspresi itu terwujud, terdapat pula sebagian lainnya yang bersikap konservatif dengan menyatakan dukungan mereka terhadap berbagai upaya pelarangan karya-karya cipta, seperti buku, film, ataupun karya pertunjukan.

Namun, menariknya, jika dikaji lebih dalam, sekalipun dukungan terhadap kebebasan berekspresi itu tampak dominan, sebenarnya ekspresi penyikapan responden tersebut tampak ambigu. Sikap-sikap ambiguitas tersebut terlihat tatkala mereka menilai berbagai aksi pelarangan peredaran buku dan film selama ini. Sekalipun mereka menyetujui, dan bahkan menjunjung tinggi adanya kebebasan, di sisi lain mereka ”mengubur” kebebasan tersebut.

Buku atau film, misalnya, menurut kacamata bagian terbesar responden, bisa dilarang beredar. Dengan syarat, apabila isinya berpotensi memicu konflik di dalam masyarakat ataupun menyinggung masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selain itu, hal-hal yang dikesankan porno pun tidak ditoleransi oleh bagian terbesar responden.

Bahkan, terhadap buku dan film tentang komunisme, dalam kacamata terbesar responden harus dilarang peredarannya. Alasan untuk menyetujui pelarangan yang dikemukakan para responden sama dengan alasan yang sering dilontarkan Kejaksaan Agung ataupun LSF.

Para responden setuju pelarangan dengan alasan agar tidak merusak integrasi bangsa (40,7 persen) atau jika dianggap bisa melanggar ketertiban (28,5 persen). Responden lain berpendapat, pelarangan perlu dilakukan agar tidak menyinggung perasaan para pemeluk agama (23,2 persen), agar moral tetap terjaga (3,8 persen), menghindari intimidasi terhadap pihak tertentu (0,4 persen), dan isi buku atau film belum terbukti kebenarannya (3,3 persen).

Uniknya, jika ditelaah lebih lanjut, persetujuan terhadap pelarangan ini dinyatakan oleh setiap lapis sosial responden, baik mereka yang berpendidikan rendah, menengah, ataupun tinggi. Demikian pula dalam kategori usia, baik responden kalangan usia muda maupun tua sama-sama mendukung adanya pelarangan terhadap buku dan film yang menyinggung berbagai persoalan di atas.

Di sisi lain, bagian terbesar responden menolak upaya pelarangan buku dan film. Mereka menyatakan ketidaksetujuan jika dilakukan pelarangan terhadap buku ataupun film yang memuat peristiwa sejarah lampau negeri ini, buku dan film yang bertutur mengenai hal-hal bersifat mistis, bahkan juga termasuk buku-buku yang menyinggung para penguasa negara saat ini. Terhadap buku Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century yang ditulis George Junus Aditjondro, dan kini memancing kontroversi, misalnya, dinilai tidak perlu dilarang oleh lebih dari dua pertiga bagian responden (70,6 persen).

Alasan penolakan larangan, bagian terbesar responden berpandangan bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang luas dan bebas (44,4 persen). Selain itu, pelarangan bagi responden juga dinilai merupakan tindakan pembodohan masyarakat (15,9 persen).

Menoleransi kontrol

Bentuk-bentuk ambiguitas masyarakat semakin jelas pula dalam beberapa persoalan yang memperhadapkan perlunya intervensi negara melalui aparaturnya. Dalam jajak pendapat ini, tampak benar bahwa bagian terbesar responden amat mendukung kebebasan berekspresi dan menyerap informasi.

Sebagai gambaran, lebih dari tiga perempat bagian responden menyatakan setuju apabila informasi publik dibuka seluas-luasnya dan transparan dengan kontrol dari masyarakat sendiri. Kondisi semacam ini pula yang tergambarkan dalam dukungan mereka terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin memudahkan wujud kebebasan berekspresi. Artinya, dalam kasus ini intervensi negara tidaklah diperlukan masyarakat.

Namun, persoalan menjadi berbeda tatkala mereka menilai masih perlu atau tidaknya kontrol terhadap berbagai buku serta film yang beredar dan memancing kontroversi. Paling tinggi, hanya seperempat bagian responden saja yang menyatakan tidak perlunya sensor ataupun intervensi terhadap persoalan yang terjadi. Bagian terbesar menginginkan adanya sensor sekalipun dalam gradasi yang berbeda-beda, dari sensor ringan hingga berat. (Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Putus Internet ke Kamboja dan Filipina, Menkominfo: Upaya Berantas Judi 'Online'

Putus Internet ke Kamboja dan Filipina, Menkominfo: Upaya Berantas Judi "Online"

Nasional
Pemerintah Putus Akses Internet Judi 'Online' Kamboja dan Filipina

Pemerintah Putus Akses Internet Judi "Online" Kamboja dan Filipina

Nasional
Upaya Berantas Judi 'Online' dari Mekong Raya yang Jerat 2,3 Juta Penduduk Indonesia...

Upaya Berantas Judi "Online" dari Mekong Raya yang Jerat 2,3 Juta Penduduk Indonesia...

Nasional
Keamanan Siber di Pusat Data Nasional: Pelajaran dari Gangguan Terbaru

Keamanan Siber di Pusat Data Nasional: Pelajaran dari Gangguan Terbaru

Nasional
Tanggal 26 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Letjen Suryo Prabowo Luncurkan Buku 'Mengantar Provinsi Timor Timur Merdeka Menjadi Timor Leste'

Letjen Suryo Prabowo Luncurkan Buku "Mengantar Provinsi Timor Timur Merdeka Menjadi Timor Leste"

Nasional
Resmikan Destinasi Wisata Aglaonema Park di Sleman, Gus Halim: Ini Pertama di Indonesia

Resmikan Destinasi Wisata Aglaonema Park di Sleman, Gus Halim: Ini Pertama di Indonesia

Nasional
Drag Fest 2024 , Intip Performa Pertamax Turbo untuk Olahraga Otomotif

Drag Fest 2024 , Intip Performa Pertamax Turbo untuk Olahraga Otomotif

Nasional
2.000-an Nadhliyin Hadiri Silaturahmi NU Sedunia di Mekkah

2.000-an Nadhliyin Hadiri Silaturahmi NU Sedunia di Mekkah

Nasional
TNI AD: Prajurit Gelapkan Uang untuk Judi 'Online' Bisa Dipecat

TNI AD: Prajurit Gelapkan Uang untuk Judi "Online" Bisa Dipecat

Nasional
Airlangga Yakin Jokowi Punya Pengaruh dalam Pilkada meski Sebut Kearifan Lokal sebagai Kunci

Airlangga Yakin Jokowi Punya Pengaruh dalam Pilkada meski Sebut Kearifan Lokal sebagai Kunci

Nasional
TNI AD Mengaku Siapkan Pasukan dan Alutsista untuk ke Gaza

TNI AD Mengaku Siapkan Pasukan dan Alutsista untuk ke Gaza

Nasional
Mitigasi Gangguan PDN, Ditjen Imigrasi Tambah 100 Personel di Bandara Soekarno-Hatta

Mitigasi Gangguan PDN, Ditjen Imigrasi Tambah 100 Personel di Bandara Soekarno-Hatta

Nasional
Pusat Data Nasional Diperbaiki, Sebagian Layanan 'Autogate' Imigrasi Mulai Beroperasi

Pusat Data Nasional Diperbaiki, Sebagian Layanan "Autogate" Imigrasi Mulai Beroperasi

Nasional
Satgas Judi 'Online' Akan Pantau Pemain yang 'Top Up' di Minimarket

Satgas Judi "Online" Akan Pantau Pemain yang "Top Up" di Minimarket

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com