Anita Yossihara
Latar belakang pendidikan Islam tidak membelenggu pemikiran Zuly Qodir untuk memperjuangkan penghormatan keberagaman di Indonesia. Tenaga dan pemikirannya dicurahkan untuk meneliti penyebab konflik atau gesekan antaretnis yang kerap terjadi di negara ini.
Baginya, keberagaman etnis atau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan potensi luar biasa yang menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia. Keberagaman itu pulalah yang menjadi cikal bakal lahirnya Republik Indonesia.
Konflik terjadi bukan karena perbedaan SARA, melainkan lantaran kurangnya penghormatan negara. Negaralah yang justru menciptakan kesenjangan antaretnis dengan memprioritaskan etnis tertentu dalam segala bidang pembangunan.
Berikut petikan wawancara Kompas di rumahnya di Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (7/11).
Bagaimana gesekan antaretnis itu bisa terjadi?
Negara kita ini memiliki suku yang beragam, budaya beragam, tetapi selama bertahun-tahun tak mengalami perkembangan yang baik. Suku-suku, etnis, yang disebut SARA itu hanya dipakai untuk konsumsi politik rezim kekuasaan, terutama pada zaman Orde Baru. SARA hanya diterjemahkan menurut rezim kekuasaan.
Rezim Orde Baru merepresentasikan keberagaman dengan membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang sebenarnya tidak berkembang sama sekali. Tidak ada cermin keragaman budaya di situ, hanya artefak semata.
Kekayaan dari keberagaman SARA itu bahkan dibelenggu oleh negara sehingga yang muncul adalah pendaman-pendaman kekecewaan. Akibatnya, beberapa daerah ingin merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Lihat saja di Papua, Aceh, dan Riau, ada gerakan untuk merdeka. Itu bukti mereka kecewa terhadap penghormatan SARA di Indonesia. Penguasa tidak menghormati keberagaman itu dengan baik.
Mengapa negara tidak menghormati keberagaman?