Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasionalisme Dari Yogyakarta

Kompas.com - 29/10/2009, 17:52 WIB

Oleh Gugun El-Guyanie 

ben ik Westers opgevoedt, ik blijf en ben een Javaan&. walaupun saya dididik cara Barat, saya tetaplah orang Jawa. (Sultan Hamengku Buwono IX).

Bangsa Indonesia seharusnya menemukan kembali ruhnya melalui momentum-momentum historis. Salah satu momentum yang menjadi etos penting kebangsaan adalah Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober.

Ikrar persatuan yang dikumandangkan para pemuda dari berbagai suku dan agama itu memiliki titik pertemuan dengan perjuangan kaum muda dan juga spirit kota revolusi Yogyakarta.

Spirit kota perjuangan Yogyakarta seharusnya digali kembali, disucikan kembali, untuk melahirkan manusia-manusia Tanah Air sekaliber Ki Hadjar Dewantara atau Sultan HB IX.

Minimal momentum-momentum besar di atas menjadi semiotika yang membangkitkan etos kebangsaan generasi sekarang dan yang akan datang. Sudah terlalu lama kita menjadi "republik lupa" yang orang-orangnya mengidap penyakit amnesia retrograde yang membuat bangsa ini tak pernah mengingat sejenak tapak perjalanan Indonesia. Marilah sejenak generasi muda menengok ke belakang, apa yang perlu diambil, apa yang perlu dibawa ke depan dalam perjalanan yang panjang.

Tahun 1913, tepatnya lima tahun setelah organisasi pergerakan nasional pertama Boedi Oetomo didirikan, Dr Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menulis artikel di majalah De Express, milik Dr Douwes Dekker, "&Als ik eens Nederlander was&." Tulisan itu mengkritik rencana Pemerintah Belanda yang mengumpulkan sumbangan dari masyarakat Hindia Belanda guna membiayai pesta perayaan kemerdekaan Belanda. "&Andaikata aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya&."

Itulah reaksi kritis dari intelektual muda pribumi yang tidak rela ibu pertiwinya disetubuhi kolonialis yang kapitalis dan materialis. Mungkin yang diekspresikan oleh Ki Hadjar Dewantara hanyalah percikan api kecil yang selanjutnya menjadi semangat membara bagi kaum muda pergerakan di Tanah Air. Sekarang kita bertanya, masihkah anak-anak muda memiliki kesadaran nasional yang sebanding dengan Dr Soetomo, Dr Soewardi Soerjaningrat, Soekarno, Hatta, dan sebagainya?

Saat ini, generasi-generasi kita sudah tidak memiliki tiga bentuk kesadaran sebagaimana yang dimiliki oleh generasi pendahulu. Pertama, yaitu kesadaran historis, yang menuntut setiap generasi memiliki kepedulian terhadap seluruh rangkaian mata rantai sejarah, dari generasi satu ke generasi selanjutnya, sehingga ada mekanisme pewarisan sejarah yang komprehensif dan tidak terputus. Kesadaran model inilah yang melahirkan sikap mental untuk selalu menghormati dan menghargai pendahulu-pendahulu dan belajar dari kearifan sejarah masa lalu karena masa lalu selalu aktual. Kita bisa menyedot energi yang berlimpah-limpah dari setiap napas perjuangan nenek moyang dan sesepuh di bumi Indonesia.

Kedua, kesadaran futuristik, yaitu kecerdasan untuk membaca dan melakukan pemetaan masa depan (futuristic mapping). Kesadaran model ini membutuhkan pijakan kesadaran historis yang kuat sehingga ada dialektika antara masa lalu dan masa sekarang dan juga masa depan. Dalam adagium orang-orang pesantren dikenal "menjaga nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik". Dengan demikian, generasi kita tetap memiliki cakrawala pemikiran global, tanpa harus kehilangan kearifan lokal (local wisdom).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com