JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para menteri, anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik, kelompok, atau golongan.
Presiden mengemukakan hal itu seusai melantik 34 menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu II di Istana Negara, Jakarta, Kamis (22/10). Dalam periode kedua pemerintahan Yudhoyono ini, kali ini bersama Wakil Presiden Boediono, sebanyak 19 dari 34 menteri berasal dari partai politik.
Di antara mereka bahkan ada ketua umum parpol, yaitu Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali yang menjadi Menteri Agama.
”Dari mana pun Saudara berasal, termasuk dari partai politik mana pun, saya berharap letakkanlah kepentingan pemerintah, bangsa, dan negara di atas kepentingan partai politik, kelompok, ataupun golongan. Jangan dibalik,” ujar Yudhoyono.
Presiden juga mengingatkan, pemerintah menganut sistem kabinet presidensial. Karena itu, dalam hubungan kerja pemerintahan, loyalitas dan pertanggungjawaban anggota kabinet harus diberikan kepada Presiden. ”Presiden adalah nakhoda. Loyalitas dan garis pertanggungjawaban Saudara adalah kepada Presiden, bukan kepada pemimpin partai politik,” ujarnya.
Terkait perangkapan jabatan anggota kabinet dan pengurus parpol, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, Presiden masih melihat dan mengevaluasi laporan setiap departemen yang dipimpin menteri dari parpol itu.
Konflik kepentingan
Secara terpisah, pengamat politik Sukardi Rinakit mengemukakan, menteri yang masih duduk di jabatan formal partai politik bisa lebih mengemukakan kepentingan parpol daripada kepentingan departemen, bangsa, atau negara, apalagi saat-saat menjelang pemilu. ”Departemen yang dia pimpin bisa menjadi perpanjangan tangan parpol,” katanya.
Cendekiawan Azyumardi Azra menegaskan, apabila jabatan pada partai dan posisi sebagai menteri masih dipegang bersamaan, akan timbul konflik kepentingan. ”Hal ini kemudian berpotensi memengaruhi keutuhan kabinet,” kata mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.
Azyumardi mengkhawatirkan menteri yang juga pemimpin parpol akan menegur kader partainya di legislatif yang menentang kebijakan pemerintah. Akibatnya, anggota DPR tak maksimal menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran. ”Prinsip pengawasan dan keseimbangan kekuasaan dalam berdemokrasi pun pada akhirnya terancam mati,” katanya.