Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naik Kereta Uap Keliling Kota

Kompas.com - 25/09/2009, 10:14 WIB

SORE menjelang petang, Jumat pekan lalu, sekali lagi warga di kota Solo dibikin terpana. Khususnya warga yang sedang melintas di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Itu terjadi ketika loko uap yang menarik kereta wisata kembali mencoba jalur dari Stasiun Purwosari - Stasiun Solo Kota di Sangkrah melintas di tengah kota. Suara peluit dari loko uap itu juga seperti mengundang warga untuk menyambut kereta wisata.

Sontak jalanan pun jadi macet. Kendaraan roda empat, motor, juga pejalan kaki, segera saja berjalan perlahan sekadar mengagumi bahkan ada yang segera merogoh kantong mereka mencari ponsel untuk kemudian mengabadikan atau membuat fim pendek.

Perjalanan kereta uap untuk wisata yang memang sudah sejak sekitar dua tahun lalu direncanakan oleh Wali Kota Solo Joko Widodo, akhirnya terwujud. Acara soft launch pekan lalu itu menandai beroperasinya dua gerbong kereta wisata menggunakan lokomotif uap C1218. Lokomotif yang dipinjam dari Museum Ambarawa ini bikinan Maschinenbau Chemnitz (Richard Hartmann) Jerman tahun 1896.

Pada plat yang menempel di lokomotif tertulis Hohenzollern A.G fur Lokomotiv BAU Dusseldorf tahun 1927,  ini tampaknya tak sesuai dengan klasifikasi dan tahun pembuatan lokomotif yang sebenarnya. Beberapa peminat kereta api tua yang bergabung dalam komunitas Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) menyebutkan, berdasarkan buku JJG Oegema, De Stroomtractie op Java en Sumatra, tipe dan tahun pembuatan lok C12 berasal dari seri SS418 bikinan tahun 1896.

Sementara itu dua gerbong wisata yaitu tipe CR 16 dan CC 44 mampu menampung sekitar 80 orang. Gerbong buatan tahun 1906 itu terdiri atas CR 16 dengan kursi memanjang di kedua sisi dan di tengah serta CR 44 dengan kursi yang berhadapan. Kayu jati menjadi bahan paling dominan yang digunakan dalam gerbong ini.

Soft launch kereta wisata, yang belum diberi nama ini, digelar di kawasan Gladag Solo di mana kawasan tersebut jadi kawasan wisata kuliner petang hingga dini hari. Kawasan wisata kuliner itu dikenal dengan nama Galabo (Gladag Langen Bogan) Solo. Berbagai makanan khas Solo berjajar rapi dan bersih di sepanjang jalan raya ini. Setiap hari, mulai sekitar pukul 17.00 kawasan ini tertutup untuk kendaraan dan hanya diperuntukkan bagi pedagang makanan dan mereka yang ingin menyantap makanan khas Solo.

Menurut Joko Widodo, kereta wisata ini akan berangkat dua kali sehari dan penumpang bisa singgah di Museum Radya Pustaka, Museum Batik Wuryoningratan, termasuk di Galabo. Perjalanan Purwosari-Sangkrah sejauh 12 km pergi pulang akan menghabiskan dana Rp 3,2 juta. Maka jangan heran nanti jika tarif sewa kereta ini juga akan mahal.

Meski demikian, seperti nama kereta wisata, soal tarif juga belum bisa ditentukan. Nama seperti Jaladara dan Kreta Kluthuk diusulkan oleh pihak Solo dan Departemen Perhubungan namun belum dipastikan mana nama yang akan dipilih.

Dalam kesempatan berbeda, dosen Program Pascasarjana Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Tjahjono Rahardjo, mengutarakan pandangannya terhadap frekuensi pengoperasian kereta wisata tersebut, “Kalau setiap hari apa tidak riskan untuk loko-nya dan juga udara di sekitar kawasan yang dilewati kereta.” Kereta berlokomotif uap tentu akan menambah polusi di kota itu, asap hitam yang keluar dari corong lokomotif  lama-kelamaan akan menghitamkan kota. Selain itu juga kondisi loko yang usianya sudah sepuh dikhawatirkan tidak akan kuat jika digunakan setiap hari, sehari dua kali. “Akhir pekan saja, Sabtu dan Minggu, misalnya, mungkin lebih baik,” tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com