Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mami Vinolia, Berjuang Entaskan Waria dari Jalanan...

Kompas.com - 14/09/2009, 13:05 WIB

KOMPAS.com - "Mami tahu bagaimana perasaan temen-temen Mami yang disakiti dan dimanfaatkan lelaki. Mami tahu bagaimana temen-temen Mami susah meninggalkan jalanan. Mami tahu masalah mereka, karena dulu Mami bagian dari mereka," kata Mami Vinolia.

Tidak mudah bagi Mami Vin, --begitu ia akrab disapa--, meninggalkan dunia malam. Namun posisinya sekarang, sebagai Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya), sedikit banyak memang menggambarkan perjuangannya.

Di bawah kendali Mami (41), LSM Kebaya yang dibentuk pada Desember 2006 ini, mulai menyuarakan keinginan para waria dan menggelar banyak program. Selain itu mengisi sejumlah acara pemerintahan, berbagai seminar, serta acara seni-budaya.

"Garis besarnya, Mami merintis jalan menuju apa yang dicita-citakan para waria: pengakuan dan mendapat martabat. Mami pun jatuh bangun memerangi HIV/AIDS, penyakit yang identik dengan kehidupan waria. Itu pekerjaan Mami sampai hari ini," ujarnya.

Sosok ini benar-benar mami, simbok, bagi waria di kota pelajar tersebut. Bahkan, panggilan mami, sudah disematkan padanya sejak era tahun 1990-an, karena rumahnya di Badran, Kota Yogyakarta, selalu menjadi tujuan para waria, entah itu sekadar numpang istirahat, tidur, hingga makan.

Waria pendatang pun, pertama kali pasti menuju ke dia. "Mereka yang lagi stres, kecewa, hingga patah hati, juga kerap mendatangi Mami untuk curhat. Saya ini ya seperti simbok. Sering tombok. Tombok uang, ati, pikiran, dan tenaga. Hahaha.. Tapi ngak apa-apa. Mami ada 24 jam untuk mereka," ucapnya, ketika ditemui di kantor LSM Kebaya di Gowongan, Kota Yogyakarta.

Tempat itu menjadi tempat singgah dan pusat kegiatan para waria sejak tahun 2006. Dibantu delapan orang waria yang aktif di Kebaya, Mami juga merawat beberapa waria yang positif terjangkit HIV/AIDS. Terapi yang rutin dan teratur untuk memperpanjang umur penderita HIV/AIDS, jelas menuntut pendampingan total 24 jam.

Dalam tahap awal, mereka yang diterapi bisa berhalusinasi, tak mempunyai motivasi hidup, dan ingin selalu ditemani. "Untuk minum obat juga mesti teratur. Aturan ini ketat, karena jika tak teratur, virus akan kebal," ucap Mami.

Urusan mendampingi, jelas menuntut kesabaran ekstra. Sambil bercanda Mami menyebut bahwa sabar itu mungkin merupakan karakternya. Sembari aktif merawat, Mami terus bersuara ke teman-teman waria untuk menyebarkan bahaya HIV/AIDS, pentingnya memakai kondom, dan perlunya berpikir logis dan rasional.

Masalah yang dihadapi waria, menurutnya, memang rumit dan kompleks. Aneka program pemberdayaan ekonomi dan kursus bagi waria, sering diadakan oleh pemerintah maupun swasta. Namun seringkali gagal. Hanya satu-dua waria yang tertarik terjun bergelut. Diakui, karakter ulet, jarang dimiliki Waria sebab mereka terbiasa nyantai: malam sampai pagi keluyuran, pagi sampai sore tidur.  

"Banyak yang mencoba menekuni kerajinan atau usaha lain, lari lagi ke jalan. Dengan uang hanya ratusan ribu per bulan, jelas sulit memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan, jika beredar di jalanan, mereka bisa mendapat penghasilan lebih," ujar Mami.

Namun mereka yang berada di jalanan, pengeluaran uangnya juga kencang, sehingga menguras penghasilan. Banyak waria yang boros uang karena membiayai hidup pria yang disayanginya. Padahal si pria, sebenarnya tak pernah mencintai waria.

Lebih baik kaum waria berusaha mandiri, sebisa mungkin dan apapun pekerjaannya asalkan meninggalkan jalanan. Namun untuk menyadarkan mereka, sangat sulit. "Pengeluaran uang yang deras, juga karena banyak waria yang suka merokok, berjudi, dan minum minuman keras. Itu membuat banyak waria yang tak bisa menabung," katanya.

Mami menyebut, untuk lepas dari jalanan, waria perlu nekat dan percaya bahwa apa yang dilakukannya demi sesuatu yang lebih baik. Sebuah pengalaman pahit, bisa menjadi titik tolak. Mami lantas bercerita sedikit tentang perjuangannya.

Ia pernah punya beberapa pacar (lelaki normal), namun masa pacarannya di kurun tahun 1996-1999 yang benar-benar menghentaknya. Jutaan rupiah tabungannya melayang hanya demi menyuplai sang pacar, pria pengangguran yang ternyata juga pecandu ganja.

"Pria itu bertubuh cukup atletis, dan tampangnya cukup cakep. Siapa sih waria yang nggak kesengsem? Mami pun begitu. Semua kebutuhan hidupnya, Mami cukupi. Awalnya Mami kira dia baik. Kalau jalan bareng, tangan Mami digandeng. Dia perhatian," ucapnya.

Namun seiring waktu pacarnya mulai aneh-aneh. Pernah ia didatangi segerombolan orang yang mengatakan bahwa utang si pacar belum dibayar, dan Mami-lah yang mesti membayar tunai. Belum lagi sering beredar kabar bahwa pacarnya punya pacar (cewek).

Dengan kucuran uang, Mami berharap tak ditinggalkan si pacar. Pernah perabotan kosnya dikuras sang pacar. Mami masih bisa bersabar. Namun saat pacarnya mengatakan bahwa ia tak akan mau berpacaran dengan banci, Mami mulai terhenyak dan sadar.

"Waktu itu saya bela-belain ke Solo dan menggelandang tiga bulan untuk mencari dia yang tiba-tiba nggak ada kabarnya. Begitu tau saya sudah dicampakkan, saya pelan-pelan sadar. Memang tak ada cinta sejati bagi waria. Saya marah, tapi saya masih bisa pamit sama dia baik-baik. Lalu saya pulang ke Yogya," ujar Mami.

Kepergiannya ke Solo selama tiga bulan membuat geger teman-temannya di PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) DIY. Sebab, saat itu Mami adalah relawan di PKBI, tepatnya menjabat Koordinator Divisi Waria. Mami bergabung di PKBI sejak 1993 dan sejak saat itu, ia tak lagi beredar di jalan.

Perlahan, dukungan dari PKBI dan teman-teman membuat Mami bisa percaya diri dan optimistis. Mami bisa melanjutkan lagi hidupnya. Selain sebagai relawan di PKBI, Mami juga direkrut sebagai pendamping penderita HIV/AIDS oleh Dinas Kesehatan DIY. Sekitar 12 tahun di PKBI, Mami pun memutuskan keluar agar perjuangannya memerhatikan waria lebih fokus. Ia pun lantas mendirikan LSM Kebaya.

Awalnya ada yayasan dari Swiss tertarik dengan yang Mami lakukan. "Yayasan itu mau membantu dana, tapi, saya mesti membuat lembaga dulu. Karenanya, saya memilih bentuk LSM. Saat itu susah sekali ngajak teman, tapi akhirnya dapat empat orang. Untuk biaya akta notaris yang hanya Rp 1,5 juta, kami utang sana-sini," ceritanya.

Bantuan dana hanya berjalan setahun. Delapan bulan selanjutnya, Mami banting tulang. Untunglah saat itu Mami banyak ditanggap sebagai pembicara seminar dan terlibat di banyak kegiatan. Penghasilannya bisa dibilang nyaris semua untuk Kebaya.

Selanjutnya LSM Kebaya mendapat suntikan dana dari yayasan di Belanda selama enam bulan, dan berakhir Maret 2009 lalu. Empat bulan masa transisi lagi, sampai Juli lalu saat sebuah yayasan dari Amerika Serikat mau mendanai Kebaya hingga Maret 2010.

Terkait mendapat dana untuk LSM Kebaya yang dipimpinnya, bukan hal mudah. Penyandang dana mau membantu karena melihat kiprah dan program Kebaya dan kesungguhan Mami, memang ada dan terbukti. Tapi Mami kadang mendengar celetukan negatif dari kanan-kiri. "Wah pasti uangnya dipakai untuk ini-itu,.. Tapi Mami optimitis karena ia merasa bertidak benar," katanya.

Selanjutnya bagaimana, setelah bantuan dana selesai? Mami dan teman teman-teman di Kebaya ya mesti nyari dana lagi. Pokoknya, Mami harus bisa mengentaskan sekitar 300 teman-teman Mami dari jalanan. "Saat ini, separuhnya masih keluar malam, mejeng di jalanan," ucap Mami.

Dari 300-an waria ini, kata Mami, baru 220 yang tergabung di Kebaya. Untuk menyadarkan mereka, mesti pelan-pelan. Jika dalam sebulan, ada satu orang berhenti dari kluyuran di jalan, bagi Mami itu sudah prestasi.

"Yang sulit itu adalah meyakinkan mereka, mereka sudah terbiasa di jalanan. Mami harus dekati, hari ke hari. Datang ke kosnya, ngobrol seharian, ngomong secara hati-hati. Satu lagi yang sulit adalah, tentangan dari waria yang tergolong senior, yang bertahun-tahun sudah ngoyot di jalanan. Sebab, mereka sudah tahu Mami dari remaja. Mereka tahu siapa itu Mami. Mami dulu kan termasuk waria yang tak diperhitungkan di jalanan. Mami kan nggak cakep," ujarnya.

Selain mengentaskan waria, cita-cita Mami yang lain adalah agar anak-anak yang waria, jangan mengalami perlakukan kasar di keluarga dan dianggap aib. "Saya pernah mengalami hal itu waktu kecil dan remaja. Sehingga saya bisa bilang, stop.. Kami ini manusia," ujar Mami yang di KTP namanya tertulis Vinolia Wakijo, ini.

Ada pertanyaan menggelitik yakni mengapa Mami berjilbab? Mami menjawab sederhana. "Mami merasa nyaman saat memakai jilbab. Tapi tidak setiap acara dan kegiatan Mami pakai jilbab," kata sosok kelahiran Yogya 9 Mei 1958 ini, sembari tersenyum.

Di KTP, ia tertulis bernama Vinolia Wakijo, dan berjenis kelamin laki-laki. Anak keempat dari 4 bersaudara ini, nggak keberatan dengan itu karena memang demikian benarnya.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com