Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bali Masih Mungkin Swasembada Beras

Kompas.com - 05/08/2009, 13:29 WIB

DENPASAR, KOMPAS.com — Di tengah persoalan penyusutan lahan pertanian yang berkisar 700-1.000 hektar per tahun dan ketergantungan pada beras dari daerah lain, Bali dinilai masih mungkin untuk berswasembada beras. Penggunaan bibit unggul seperti jenis padi hibrida, pengolahan pascaproduksi yang lebih baik, serta pemastian ketersediaan air menjadi sejumlah syarat utama untuk terwujudnya kondisi swasembada beras di Bali.   

"Jika semua dilakukan serempak dan terorganisir secara rapi, saya yakin Bali bisa swasembada beras. Masalahnya pemerintah daerah mau dan mampu melakukan hal itu atau tidak,"  kata Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Prof Dr Nyoman Suparta, di Denpasar, Rabu (5/8).

Suparta menyatakan, hasil pertanian padi pascaproduksi saat ini di Bali rata-rata mencapai 5,5 ton gabah kering giling per hektar sekali panen atau mencapai 3,41 ton beras per hektar. Dengan lahan pertanian yang tersisa saat ini, seluas 82.000 hektar, maka minimal dapat diperoleh beras sekitar 279.620 ton beras sekali panen. Jika setahun terjadi dua kali panen raya, maka dapat diperoleh sekitar 559.420 ton beras.

"Kebutuhan masyarakat Bali terhadap beras, saat ini rata-rata mencapai 680.000 ton per tahun, sehingga terjadi defisit sekitar 120.580 ton beras per tahun. Untuk mencukupi kekurangan itu," kata Suparta, didatangkan gabah kering ataupun beras dari Pulau Jawa, terutama dari sejumlah daerah di Banyuwangi, Jawa Timur.  

"Jika saja petani mau menggunakan bibit padi hibrida, hasilnya bisa mencapai 8-12 ton gabah kering giling per hektar sekali panen. Katakan saja rata-rata gabah kering yang di hasilkan mencapai 10 ton per hektar, dalam setahun kan sudah dihasilkan sekitar 1,6 juta ton gabah kering, sehingga sudah surplus," kata Suparta. Gabah kering giling sebanyak 1,6 juta ton kurang lebih setara dengan 960.000 ton beras.   

 

Pengawasan ketat  

Namun, untuk mencapai target itu tidak mudah. Suparta menyatakan, pemakaian bibit padi hibrida membutuhkan pengawasan khusus, terutama pemupukan maupun perawatan sawah. Harga bibit hibrida pun relatih mahal, hingga 8-10 kali daripada harga padi lain, seperti I R-64 atau C-4. Pemerintah harus menyosialisasikan penggunaan bibit jenis hibrida itu secara konsisten, termasuk mungkin membantu penyediaannya sekaligus lewat cara subsidi.

Pemerintah juga harus dapat menjamin ketersediaan air serta pengelolaan pascaproduksi dengan baik. Ketersediaan air menjadi masalah serius, seiring dengan penyusutan lahan pertanian yang kebanyakan beralih fungsi menjadi permukiman. Meski tidak bisa melarang seluruh pemilik sawah untuk melepas lahan pertaniannya ke pihak lain, minimal pemerintah dapat menerapkan aturan tegas, misalnya pelarangan alih fungsi lahan di lahan-lahan subur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com