Oleh: Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pembudy
KOMPAS.com- SEJARAH mencatat ketokohan Prof Dr Saparinah Sadli (81) dalam berbagai peristiwa penting yang menjadi tonggak perjuangan perempuan untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Dia adalah sosok yang ilmuwan dan pekerja hak asasi manusia yang tak pernah pensiun.
Perjalanannya yang panjang dan penuh, teguh dan kukuh, adalah perpaduan antara ‘kebetulan-kebetulan yang bermakna’, dorongan teman, sahabat dan suami, serta kehendak untuk terus belajar dan bekerja.
“Setiap orang selalu dalam proses menjadi,” ujar Bu Sap – begitu ia disapa – yang ditemui di ruang tamu rumahnya yang meruapkan wangi melati gambir, suatu pagi.
Rumah tua di kawasan Jakarta Selatan itu selalu terasa teduh dengan halaman berumput segar yang dinaungi pepohonan, semak, dan perdu, dipadu warna cerah dari anggrek dan alamanda. Tak ada yang berubah setelah Prof Sadli, pasangan hidupnya selama lebih setengah abad, berpulang pada tanggal 9 Januari 2008.
“Gordon Allport, ilmuwan psikologi aliran humanistik mengatakan, setiap orang akan terus berubah sebelum meninggal. Selama dia mau belajar, tak ada kata berhenti,” lanjut Bu Sap, yang lebih meyakini Allport dibandingkan Freud yang deterministik.
Bu Sap masih membantu Fakultas Psikologi UI dan Program Pascasarjana Kajian Wanita UI, yang dirintisnya sejak tahun 1989. Ia aktif di Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), terus menulis dan saat ini menjadi anggota tim peneliti tentang gender dan kesehatan reproduksi (kespro) dalam buku pelajaran SD, SMP dan SMA. Hobi barunya, mencari bunga di Pasar Bunga Rawa Belong juga menjadi bagian dari kegiatan rutinnya.
Selain itu, masih ada beberapa kegiatan yang dilakukan. “Aku baru pulang dari Yogya sama Bu Sap,” tulis Lies Marcoes-Natsir, peneliti, aktivis dan program officer dari The Asia Foundation, melalui layanan pesan singkat, suatu petang. “Selalu ada perasaan nyaman dekat sama dia. Ibu memang luar biasa, masih jernih, dan penuh semangat.”
Terus belajar
Bu Sap yang mengenal perspektif gender melalui psikologi, khususnya dari buku Janet Hyde, Half of Human Experience, Psychology of Women (1974), mengaku terus belajar dari siapa pun yang ia jumpai.
Ia menolak comfort zone, dan tak segan bersinggungan dengan hal-hal baru, termasuk teknologi. “Dulu mau kirim e-mail saja dibantu Pak Sadli,” katanya.
Keinginannya untuk terus belajar tidak datang tiba-tiba. Dari dulu ia suka belajar, termasuk dari mantan mahasiswanya yang menjadi rekan kerjanya, khususnya dalam bidang studi feminis. Aktivitas yang banyak menggunakan otak itu juga membantunya mencegah dimensia.
“Sampai sekarang saya bekerja dengan anak-anak muda. Saya beruntung karena mereka masih mengajak saya,” papar Bu Sap, menepis mitos ‘perekat’ para aktivis feminis.
Apa yang dipelajari?
Saya tidak terlalu suka lagi ke seminar. Saya mau yang aktif, seperti membantu melatih ibu-ibu kelas menengah bawah dalam program pendidikan sebaya yang diselenggarakan YKP. Juga program pendidikan bidan modern yang diikuti anak-anak muda dan keluarga dukun (bayi) dari desa dan pelosok. Saya kagum pada perjuangan mereka dan belajar banyak dari interaksi ini.
Bisa sedikit dipaparkan soal penelitian itu?
Kita meneliti sejauh mana upaya mengintegrasikan gender dan kesehatan reproduksi dalam buku-buku pelajaran. Tetapi temuan awal cukup memprihatinkan. Tentang kespro, misalnya, yang diajarkan mengenai hygiene itu lebih mengacu pada agama. Seks bebas dikatakan sebagai pengaruh Barat. Itu yang diajarkan ke anak-anak. Penerbit di sini samasekali tidak mengerti.
Masih sangat panjang
Nama Saparinah Sadli tak bisa dipisahkan dari kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Oktober 1998, yang kemudian ia pimpin sampai tahun paruh pertama tahun 2004.
Komisi yang menjadi tonggak penting perjuangan perempuan itu sampai sekarang masih menjadi satu-satunya komisi nasional di dunia yang secara spesifik menyebut ‘anti kekerasan terhadap perempuan’.
Bagian perjalanannya mulai masa reformasi sampai awal tahun 2000-an penuh badai. Ia berada di depan bersama sekolompok tokoh dan aktivis perempuan yang menghadap Presiden Habibie untuk mendesak agar pemerintah mengakui dan minta maaf atas terjadinya pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998. Sejak peristiwa itu kekerasan seksual di daerah-daerah operasi militer mulai terkuak.
Sampai usia 75-an, Bu Sap masih melakukan perjalanan ke Papua, Timor Timur (dulu), Aceh, dan ke pelosok-pelosok negeri. Ia mendorong para aktivis muda yang bekerja untuk hak-hak perempuan, khususnya di akar rumput, melalui Saparinah Sadli Award sejak tahun 2006.
Bagi para aktivis dan pekerja hak asasi manusia, “Bu Sadli adalah pembawa pelita. Kadang berjalan di belakang untuk menerangi. Kadang di depan untuk membuka jalan, kadang di tengah untuk mengingatkan,” begitu ditulis Kamala Chandrakirana, yang menggantikannya sebagai Ketua Komnas Perempuan sampai akhir tahun 2009, pada ulang tahun Bu Sap ke-80.
Anda optimis dengan masa depan perjuangan perempuan?
Banyak yang sudah dilakukan, tetapi masih banyak pula yang harus dilakukan. Kuota 30 persen perempuan di parlemen penting, tetapi kinerjanya jauh lebih penting. Kondisi kesehatan perempuan sangat serius, meski secara statistik angkanya menurun. Itu hanya beberapa saja dari banyak persoalan yang lain yang dihadapi perempuan.
Yang harus selalu terus dicermati adalah politisasi identitas, termasuk penggunaan simbol-simbol agama untuk memecah belah perempuan. Posisi perempuan memang rentan dalam era kapitalisme global, tetapi jargon anti neoliberalisme juga digunakan kelompok konservatif untuk agenda mereka sendiri.
Sayangnya, tak banyak pemimpin punya pemahaman cukup tentang keberagaman, keindonesiaan dan makna Bhinneka Tunggal Ika. Mereka tak punya cukup kapasitas sebagai negawaran, dan hanya bermain dengan citra.
Berikut adalah Biodata Saparinah Sadli:
Nama: Prof Dr Saparinah Sadli
Tempat/tanggal lahir: Tegalsari, Jawa Tengah, 24 Agustus 1927
Keluarga: Prof Dr Ir Mohammad Sadli, MSc (suami, almarhum)
Pendidikan, antara lain:
- Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), (Sarjana Muda 1953);
- Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1961); Doktor Psikologi UI (1976)
Kegiatan penting:
- Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, 1998-2004)
- Mendirikan Pusat Studi Kajian Wanita UI,
- Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (1996-2000),
- Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998, di mana kekerasan seksual menjadi bagian integral (23 Juli-23 Oktober 1998).
- Menulis banyak tulisan ilmiah dan artikel. Bukunya antara lain, Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut (2007).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.