Ia menolak comfort zone, dan tak segan bersinggungan dengan hal-hal baru, termasuk teknologi. “Dulu mau kirim e-mail saja dibantu Pak Sadli,” katanya.
Keinginannya untuk terus belajar tidak datang tiba-tiba. Dari dulu ia suka belajar, termasuk dari mantan mahasiswanya yang menjadi rekan kerjanya, khususnya dalam bidang studi feminis. Aktivitas yang banyak menggunakan otak itu juga membantunya mencegah dimensia.
“Sampai sekarang saya bekerja dengan anak-anak muda. Saya beruntung karena mereka masih mengajak saya,” papar Bu Sap, menepis mitos ‘perekat’ para aktivis feminis.
Apa yang dipelajari?
Saya tidak terlalu suka lagi ke seminar. Saya mau yang aktif, seperti membantu melatih ibu-ibu kelas menengah bawah dalam program pendidikan sebaya yang diselenggarakan YKP. Juga program pendidikan bidan modern yang diikuti anak-anak muda dan keluarga dukun (bayi) dari desa dan pelosok. Saya kagum pada perjuangan mereka dan belajar banyak dari interaksi ini.
Bisa sedikit dipaparkan soal penelitian itu?
Kita meneliti sejauh mana upaya mengintegrasikan gender dan kesehatan reproduksi dalam buku-buku pelajaran. Tetapi temuan awal cukup memprihatinkan. Tentang kespro, misalnya, yang diajarkan mengenai hygiene itu lebih mengacu pada agama. Seks bebas dikatakan sebagai pengaruh Barat. Itu yang diajarkan ke anak-anak. Penerbit di sini samasekali tidak mengerti.
Masih sangat panjang
Nama Saparinah Sadli tak bisa dipisahkan dari kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Oktober 1998, yang kemudian ia pimpin sampai tahun paruh pertama tahun 2004.
Komisi yang menjadi tonggak penting perjuangan perempuan itu sampai sekarang masih menjadi satu-satunya komisi nasional di dunia yang secara spesifik menyebut ‘anti kekerasan terhadap perempuan’.
Bagian perjalanannya mulai masa reformasi sampai awal tahun 2000-an penuh badai. Ia berada di depan bersama sekolompok tokoh dan aktivis perempuan yang menghadap Presiden Habibie untuk mendesak agar pemerintah mengakui dan minta maaf atas terjadinya pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998. Sejak peristiwa itu kekerasan seksual di daerah-daerah operasi militer mulai terkuak.
Sampai usia 75-an, Bu Sap masih melakukan perjalanan ke Papua, Timor Timur (dulu), Aceh, dan ke pelosok-pelosok negeri. Ia mendorong para aktivis muda yang bekerja untuk hak-hak perempuan, khususnya di akar rumput, melalui Saparinah Sadli Award sejak tahun 2006.