Luas sawah 8 juta hektar dan bila per meter dihargai Rp 100.000, maka seluruh lahan sawah itu bernilai Rp 8.000 triliun. Kok bisa dengan aset begitu besar petani menjalani usaha taninya dengan harkat begitu rendah?
Itu karena cara berpikir dengan mengukur petani dari kepemilikan tanah, sementara sebagian besar petani hanya memiliki 0,3 hektar. Itu stigma menyengsarakan.
Mengubah cara pandang itu?
Harus ditumbuhkan kesadaran dan gerakan dari bawah. Di IPB baru ada seminar tentang bank pertanian yang dihadiri Menteri Pertanian dan Deputi Bank Indonesia. Bank pembangunan pertanian adalah cara memberi modal kepada petani. Daripada uang triliunan diberikan untuk bantuan langsung tunai (BLT), lebih baik untuk modal bank pertanian.
Jadi, petani dididik menggunakan modal untuk mengembangkan usaha. Besarnya pinjaman disesuaikan dengan tabungan dia.
Sistem industri pertanian?
Paradigma saya, ada univalensi. Maksudnya, membangun desa artinya membangun pertanian dan sebaliknya. Karena desa dan pertanian harus menyatu, maka harus menjadi desa industri. Industri di sini adalah industri alternatif, seperti makanan, garmen, tenun, batik, atau kerajinan berbasis desa.
Di sini berpikir harus dalam sistem dan subsistemnya, pemangku kepentingan di sana, yaitu perbankan, swasta, koperasi, dan perguruan tinggi.
Subsistem swasta adalah mereka yang bergerak di bidang pertanian, seperti hypermarket. Mengapa dimusuhi? Kalau petani tahu ada pasar yang mapan, maka dengan mental industrial dia akan berproduksi dengan efisiensi dan mutu tinggi, mengusahakan nilai tambah dan pembagian keuntungan tinggi. Hal seperti itu mendorong petani berpikir rasional.
Koperasi untuk mengorganisasikan petani karena dapat mengakomodasi kearifan lokal, seperti gotong royong, tenggang rasa, kepedulian.
Peran perguruan tinggi, saya mendorong pendamping profesional untuk petani, diambil dari jalur profesional, program diploma, yang sekarang mentok sampai D-3. Seharusnya sampai D-4 setingkat S-1, diteruskan ke spesialis-1 setingkat magister dan spesialis-2 setingkat doktor karena peraturan Departemen Pendidikan Nasional membolehkan.
Produk, proses, paradigma
Sebagai intelektual, Prof Sadjad merasa harus menghasilkan produk, proses, dan paradigma. Produk sudah dia hasilkan dalam pekerjaan sebagai dosen ilmu dan teknologi benih, berupa alat pengecambah benih dan menemukan kertas merang sebagai media tumbuh benih.