Pemerintah menginginkan kualitas pendidikan meningkat, namun tidak disertai dengan pembangunan kesehatan masyarakat. ”Kualitas pendidikan yang bagus akan sulit tercapai jika peserta didiknya kurang darah, kurang gizi, congekan, cacingan, dan menderita berbagai penyakit lain,” ujarnya.
Karena itu, tantangan bidang kesehatan ke depan adalah negara harus melaksanakan pembangunan kesehatan yang memprioritaskan upaya preventif atau pencegahan penyakit, bukan malah memfokuskan diri pada upaya kuratif dengan memperbanyak pendirian rumah sakit.
Kebijakan membangun Puskesmas untuk mengembangkan pola hidup sehat di kalangan masyarakat kini berubah menjadi semacam ”rumah sakit kecil” yang mengobati masyarakat yang sakit. ”Karena ketidakjelasan konsep kesehatan, para dokter di Indonesia seperti petugas pemadam kebakaran. Dokter bertindak kuratif mengobati orang sakit,” kata Kartono.
Kartono juga mengkritik tidak adanya lembaga pengawas yang mengoreksi kalau ada kesalahan dalam pelayanan kesehatan. ”Pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai regulator dan wasit pun ikut bermain. Banyak rumah sakit milik pemerintah yang malah bersaing dengan rumah sakit swasta,” ujarnya.
Dalam hal harga obat, Kartono menilai pemerintah dengan sengaja menyerahkan kepada pasar. Tidak ada pengendalian jumlah obat, pembatasan jumlah merek obat, dan jumlah pabrik obat. Tidak ada pertimbangan apakah perlu ada kekhususan dalam produksi obat tertentu dan membatasi jumlahnya.”Jadi harga obat dan pemilihan obat diserahkan sepenuhnya ke pasar,” ujarnya.
Dokter TNI-AL
Kartono Mohamad dibesarkan dalam keluarga besar dengan delapan bersaudara di Pekalongan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Ayahnya, Mohamad, adalah pengusaha yang pada masa itu aktif dalam pergerakan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda, bahkan sempat diasingkan ke luar Jawa.
Saat ayahnya tewas ditembak pasukan Belanda, Rukayah, ibunya, menjadi tulang punggung keluarga dengan berjualan kue di pasar. Sebagai orang tua tunggal, ibunya bertekad untuk menyekolahkan anak-anaknya yang masih kecil, setinggi mungkin.
Berkat ketekunannya, Kartono diterima di beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka. Atas saran ibunya, ia lalu memilih masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dengan alasan bisa satu kota dengan kakaknya.
Setelah menempuh kuliah selama beberapa semester, ia mendapat beasiswa ikatan dinas dari TNI Angkatan Laut. Ia mengambil ikatan dinas tersebut, selain untuk meringankan beban ibunya, juga karena fasilitas yang ditawarkan TNI-AL amat bagus. Begitu lulus kuliah, Kartono bertugas melayani kesehatan masyarakat di Kepulauan Seribu.