Di IDI misalnya, atas gagasannya, dibentuk Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEKI). Majelis ini anggotanya dokter-dokter dari berbagai angkatan, berlatar belakang berbagai agama, budaya, etnis dan latar belakang keahlian. Majelis ini secara truktural tidak di bawah Ketua PB IDI, tetapi di bawah Kongres.
”Karena itu keputusannya bisa obyektif dan bahkan bisa menegur atau menindak tegas ketua umum organisasi bila terbukti melanggar disiplin kedokteran,” kata peraih penghargaan Satya Lancana Satya Dharma (1962) dan Satya Lancana Penegah (1970) ini.
Selain meletakkan tonggak awal upaya menegakkan etika kedokteran, Kartono juga menggagas pendirian Badan Pembelaan Anggota PB IDI. ”Setiap dokter yang tengah menghadapi masalah terkait etika kedokteran akan mendapat pendampingan hingga dokter bersangkutan mendapat putusan apakah melanggar etika atau tidak secara adil dan obyektif,” ujarnya.
Adapun untuk melindungi kepentingan pasien, ia dan jajaran pengurus IDI membuat lembaga pengaduan. Hampir setiap surat keluhan dari masyarakat yang masuk ke PB IDI dijawab sendiri oleh Kartono. “Sebagian besar kasus yang diadukan adalah soal komunikasi. Masalah komunikasi antara dokter dan pasien memang masih harus terus ditingkatkan. Namun bila ada dugaan pelanggaran etika kedokteran, saya akan mengajukan ke MKEK untuk diproses lebih lanjut,” ujarnya.
Di bawah kepemimpinan Kartono, PB IDI juga berani bersuara keras, bahkan kritis terhadap berbagai persoalan kesehatan dan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Padahal, rezim Orde Baru saat itu sangat represif. Namun kritis Kartono yang disampaikan secara lisan maupun lewat tulisan di media massa, justru membawa berkah bagi pembangunan kesehatan. PB IDI sejak saat itu mulai didengar pendapatnya dalam pembangunan bidang kesehatan dan sejumlah persoalan kesehatan.
Tidak lelah
Di usia senja, semangatnya untuk memperjuangkan keadilan dan perbaikan bidang kesehatan terus menyala. Kini ia menjadi penasehat di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, pengurus Yayasan AIDS, ikut aktif dalam Koalisi untuk Indonesia Sehat dan gerakan pengendalian dampak tembakau bagi kesehatan, pengurus Bina Antar Budaya, tergabung dalam Forum Peduli Kesehatan Rakyat, dan aktivitas sosial lain.
Kartono juga ikut aktif dalam penyusunan Revisi Rancangan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tahun 2001-2004. Namun, hingga kini revisi RUU itu belum juga kelar. “Kadang frustrasi juga melihat perjuangan tak juga menampakkan hasil, banyak masalah kesehatan di Indonesia yang tidak tertangani dengan baik,” kata Kartono.
”Namun saya tidak lelah, saya akan terus berteriak...,” tambah Kartono di rumahnya yang asri di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Dari sekian banyak persoalan kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia, menurut Kartono, kunci persoalannya adalah, tidak jelasnya arah pembangunan kesehatan Indonesia. "Pembangunan bidang kesehatan tidak pernah dianggap sebagai investasi untuk membangun kualitas sumber daya manusia,” kata Kartono.