JAKARTA, KOMPAS.com - Pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh jaksa penuntut umum dalam beberapa proses peradilan hukum pidana, dipertanyakan kebenarannya. Hal itu menyusul pegajuan PK oleh JPU dalam beberapa kasus pidana, menyebabkan pihak terpidana terganjal dalam memperjuangkan hak-haknya.
Salah satunya adalah kasus pidana Pollycarpus Budihari Priyanto yang divonis hukuman 20 tahun penjara oleh Mahkamah Agung atas PK yang diajukan JPU, dalam kasus pembunuhan pejuang hak azasi manusia (HAM) Munir. Kini pengacaranya Muhammad Assegaf berniat mengajukan PK yang menjadi hak kliennya sebagai terpidana. Namun, jika niat itu dijalankan, hal itu berarti menemukan jalan buntu karena pengajuan PK terhadap PK tak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Permasalahan itu mengemuka dalam Diskusi Panel Peninjauan Kembali Dalam Tata Hukum Indonesia yang diselenggarakan Lembaga Advokasi Hukum dan Demokrasi Untuk Pembaruan (Landep) sebagai salah satu sayap organisasi Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), di Jakarta, Selasa (23/6).
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut yaitu, Ketua Komisi Ombudsman Anton Sujata, anggota Komisi Yudisial Sukoco Suparto, dan mantan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga. Sementara peserta diskusi antara lain dihadiri oleh pengacara Muhammad Assegaf dan pengacara senior Robert Odjahan Tambunan.
Menurut Anton Sujata, sesuai pasal 263 KUHAP, PK dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sementara KUHAP tak mengatur JPU dapat mengajukan PK seperti terpidana.
Oleh karena itu dia menegaskan, pengajuan PK oleh JPU sama saja mengacaukan sistem peradilan yang digariskan dalam KUHAP. PK sebagai subsistem KUHAP, jika disalahgunakan sama saja akan mengacaukan sistem hukum acara pidana, katanya.
Namun dengan mengikuti pemikiran jaksa, Sukoco Suparto mengemukakan, PK dapat saja diajukan oleh JPU. Sebab dengan menggunakan argumentasi hukum argumentum acontrario, JPU memiliki hak yang sama mengajukan PK. "Dari situ diperoleh penafsiran terbalik, bahwa jaksa boleh ajukan PK," jelasnya.
Akan tetapi hal itu disanggah oleh Benyamin Mangkudilaga dan Robert Odjahan Tambunan. Berdasarkan sejarahnya, menurut mereka, pasal 263 KUHAP yang mengatur pengajuan PK lahir dari permasalahan salah vonis Sengkon dan Karta yang ditangani PN Bekasi tahun 1974.
Berawal dari kasus salah vonis itu, Robert Odjahan Tambunan mengemukakan, dia yang saat itu menjadi pengacara Sengkon dan Karta bersama pengacara senior Buyung Nasution, mengusulkan PK bagi terpidana dalam KUHAP yang disusun tahun 1981 oleh DPR RI. "Karena itu, saya tegaskan, PK hanya untuk terpidana, bukan untuk jaksa," terangnya.
Sebagai tindak lanjut, Sukoco Saputro mengatakan, akan membawa masalah pengajuan PK oleh JPU itu dalam rapat pleno Komisi Yudisial. Apalagi menurut Benyamin Mangkudilaga, pengajuan PK oleh JPU selama masa orde baru sarat dengan kepentingan politis, seperti kasus Muchtar Pakpahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.