”Saya sudah lama memasang sosok Bima di ruang kerja. Saya mengagumi karakter Bima, yaitu jujur, tegas, disiplin, dan berani menghadapi risiko jika yang dilakukannya adalah benar,” kata Wiranto yang mendampingi calon presiden Jusuf Kalla ini.
Karakter Bima memberi inspirasi. Misalnya, saat pria kelahiran Yogyakarta pada 4 April 1947 ini menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan pada pemerintahan Presiden BJ Habibie (1998-1999). ”Sebagai konsekuensi laporan saya kepada Presiden bahwa keadaan saat itu aman terkendali, saya membubarkan kompi pengawalan. Ke mana-mana, saya hanya dikawal seorang dengan sepeda motor dan hanya memakai peluit untuk membuka kelancaran arus lalu lintas. Sebab, bagaimana laporan itu dapat diyakini kebenarannya jika untuk bepergian saya masih dikawal oleh pasukan bersenjata lengkap?” kenang Wiranto.
Lulusan Akademi Militer Nasional angkatan 1968 ini juga berpendapat, sekarang Indonesia juga memerlukan pemimpin seperti Bima. Sebab, selain transparansi dalam pengelolaan, menurut dia, Indonesia juga butuh pemimpin yang berani bertindak cepat dan tanpa ragu-ragu untuk rakyat serta memiliki kesatuan antara kata dan tindakan.
Dengan sosok pemimpin seperti Bima, berbagai masalah bangsa, misalnya dalam pembangunan kemandirian di bidang ekonomi, akan lebih cepat tercapai. ”Presiden Soekarno pernah mengatakan, penyediaan pangan bagi rakyat (merupakan) hidup matinya bangsa. Ini pernyataan yang dalam sekali maknanya sebab jumlah penduduk terus bertambah sehingga, bila gagal menyediakan pangan bagi rakyatnya, akan menghadapi masalah besar,” kata Wiranto.
Wiranto juga menggelisahkan demokratisasi di Indonesia, yang masih prosedural dan cenderung hura-hura. Dengan latar belakang ekonomi, sosial, dan pendidikan penduduk yang amat beragam, makna pemilihan langsung, seperti dalam pemilihan umum presiden dan kepala daerah, menjadi masih sulit dipahami.
Sebagai langkah awal memperbaiki demokratisasi di Indonesia, Wiranto menyatakan, kampanyenya bersama Kalla akan mengurangi kegiatan seperti rapat umum dan menambah dialog dengan masyarakat. Sebab, selain kurang efektif sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat, acara seperti rapat umum juga menghamburkan biaya. ”Semakin banyak biaya yang dikeluarkan, semakin banyak pula tuntutan yang harus dikembalikan,” katanya.
Berbagai keprihatinan itu yang, antara lain, mendorong Wiranto kembali mengikuti pemilihan kali ini meski hanya sebagai cawapres. Padahal, pada tahun 2004 dia pernah maju sebagai calon presiden. ”Saya (mengikuti pilpres) bukan semata-mata untuk mencari jabatan atau materi, tetapi mengabdi kepada bangsa. Secara materi kami sudah merasa cukup. Jadi, seandainya rakyat menghendaki kami untuk memimpin, tidak akan ada keinginan untuk melakukan hal-hal seperti korupsi,” kata Wiranto.