Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampanye Dilarang sampai 1 Juni

Kompas.com - 30/05/2009, 03:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah ditetapkan sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum, Jumat (29/5), semua capres-cawapres dilarang berkampanye hingga 1 Juni. Mereka baru diperbolehkan berkampanye pada 2 Juni hingga 4 Juli sesuai dengan ketetapan KPU.

”Terhitung sejak ditetapkan, pasangan capres-cawapres dilarang melakukan kegiatan yang bernuansa kampanye hingga 1 Juni,” ungkap Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary setelah mengumumkan penetapan pasangan capres-cawapres yang akan mengikuti Pemilu Presiden 2009 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (29/5).

Semua capres-cawapres yang mendaftar ke KPU dinilai memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan. Pasangan capres-cawapres yang ditetapkan sesuai dengan waktu mendaftarnya ke KPU itu adalah Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Pelarangan tersebut mengacu pada Pasal 40 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang menyebutkan, kampanye dilaksanakan sejak tiga hari setelah KPU menetapkan nama pasangan capres-cawapres hingga dimulainya masa tenang. Masa tenang dimulai tiga hari sebelum hari pemungutan suara.

Dua tahap

Waktu kampanye dibagi dalam dua tahap, yaitu kampanye tanpa pengerahan massa pada 2-10 Juni dan kampanye dengan melibatkan massa dalam jumlah besar pada 11 Juni-4 Juli. Pelarangan kampanye hingga 1 Juni berlaku juga untuk iklan kampanye di media massa cetak dan elektronik.

Aturan ini berlaku bagi capres-cawapres, tim kampanye pasangan capres-cawapres maupun petugas kampanye.

Meskipun demikian, lanjut Hafiz, capres-cawapres tetap diperkenankan melakukan pertemuan dengan masyarakat, terutama dalam rangka tugas negara bagi capres-cawapres yang masih menjabat atau incumbent, asalkan tidak menyampaikan visi, misi, program, ataupun ajakan untuk memilih mereka.

Dagelan

Pengamat hukum pidana pemilu yang juga mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004, Topo Santoso, mengatakan, aturan pelarangan kampanye sejak penetapan capres-cawapres hingga dimulainya masa kampanye hanya sebagai dagelan.

Di negara mana pun, sejak pasangan capres-cawapres ditetapkan, justru mereka diberikan kebebasan untuk berkampanye, bukan ditahan untuk berkampanye.

”Aturan ini tidak masuk akal, sama seperti Pemilu 2004. Hal ini justru membuat ’kucing-kucingan’ dan debat kusir antara capres-cawapres dan tim kampanyenya dengan Bawaslu/Panwaslu serta KPU,” ujarnya.

Perbedaan antara aturan dan kenyataan itu dinilai Topo hanya membuat masyarakat disuguhi tontonan yang tidak menarik dan tidak substansial. Dilihat dari aspek apa pun, apa yang sudah dan sedang dilakukan pasangan capres- cawapres dan tim suksesnya termasuk kampanye.

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Pemantauan Komite Independen Pemantau Pemilu Jojo Rohi mengatakan, pelarangan itu hanya mengacu kepada definisi formal yang ada dalam undang-undang. Padahal, kenyataan yang terjadi di lapangan jauh berbeda.

Jauh sebelum capres-cawapres ditetapkan KPU, capres-cawapres itu sudah gencar melakukan sosialisasi kepada publik, baik melalui iklan maupun berbagai program yang diselenggarakan media massa.

Kampanye seperti itu dipastikan tidak dapat diikat oleh aturan yang ada karena saat itu mereka belum ditetapkan sebagai capres-cawapres sehingga tidak dapat disebut kampanye.

”Ke depan, undang-undang lebih baik hanya mengatur batasan akhir kampanye saja dan tidak perlu mengatur kapan kampanye dimulai karena tidak efektif dan pasti dilanggar bakal capres-cawapres,” katanya.

Amplop tertukar

Proses penetapan pasangan capres dan cawapres diwarnai insiden ketika amplop yang berisi hasil verifikasi pasangan calon yang dikirim KPU ke setiap capres-cawapres tertukar.

Dalam amplop yang ditujukan kepada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ternyata berisi berkas hasil verifikasi pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, dan sebaliknya.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie mengakui hal itu. Namun, ia menilai hal itu sebagai persoalan kecil akibat kesalahan dalam penerimaan dokumen. Dokumen yang ada dalam amplop pun bukanlah data yang bersifat rahasia.

Prabowo terkaya

Selain menetapkan peserta pemilu, KPU juga mengumumkan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) semua capres dan cawapres dan laporan rekening awal dana kampanye. Setelah menetapkan peserta pemilu, rencananya pada Sabtu ini KPU akan mengundi nomor urut pasangan capres dan cawapres.

Dari hasil LHKPN yang diterima KPU, cawapres Prabowo Subianto merupakan kandidat paling kaya di antara capres dan cawapres lainnya.

Syamsulbahri yang membacakan LHKPN menyebutkan, jumlah total kekayaan Prabowo sebanyak Rp 1,579 triliun dan 7,57 juta dollar AS.

Kemudian menyusul berturut-turut Jusuf Kalla Rp 314,53 miliar dan 25.668 dollar AS, Megawati Soekarnoputri Rp 256,447 miliar, dan Wiranto Rp 81,74 miliar dan 378.625 dollar AS.

Akan halnya Boediono, ia memiliki kekayaan sebesar Rp 22,067 miliar dan 15.000 dollar AS, sedangkan Yudhoyono Rp 6,848 miliar dan 246.389 dollar AS. ( MZW/ SIE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com