Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Jalanan di Pulau Edam

Kompas.com - 03/04/2009, 11:25 WIB

KOMPAS.com — Berapa benyak warga Jakarta dan sekitarnya yang tahu fungsi Pulau Damar Besar atau Pulau Edam di zaman ketika negeri ini sudah bernama Republik Indonesia? Naskah-naskah sejarah tentang keberadaan pulau ini saja sulit ditemukan. Untungnya, masih ada pihak-pihak yang menyimpan berbagai buku dari masa lampau.
 
Jika beberapa waktu lalu Warta Kota mengulas tentang beberapa peninggalan yang masih tersisa di Pulau Edam, seperti mercusuar bikinan tahun 1879 dan bekas benteng, maka kali ini Warta Kota mencoba menambahkan informasi perihal fungsi pulau tersebut di tahun 1950-an dan menyinggung kembali Pulau Edam di tahun 1800-an.
 
Dalam buku Kotapradja Djakarta Raja, Tujuh Tahun Kotapradja terbitan tahun 1952 dipaparkan bahwa anak jalanan sudah menjadi masalah di Jakarta pada tahun 1950. Djawatan Sosial, tulis buku itu, menyimpulkan bahwa keberadaan anak-anak jalanan yang kebanyakan yatim piatu itu merupakan calon beban dan sampah masyarakat.

Sejak Djuni 1950, Djawatan Sosial bekerja sama dengan polisi menampung anak-anak liar ini dan mereka dikumpulkan di Pulau Edam. Panti sosial ini diberi nama Putra Utama I dengan kapasitas hingga 2.000 anak telantar. Karena jumlah anak telantar di kotapradja kala itu mencapai 5.000 orang, maka satu panti sosial dibuka lagi di Jatinegara bernama Putra Utama II.

Pada Juli 1952, empat anak yang semula diberi label sampah masyarakat dikirim ke Surabaya untuk belajar di Sekolah Angkatan Laut. Bahkan, anak-anak ini berperan dalam film “Si Pintjang”. Film produksi tahun 1951 ini kemudian dibuat ulang pada 1979, bercerita tentang Giman yang sudah pincang sejak lahir. Pendudukan Jepang memporakporandakan keluarga Giman hingga Giman hidup menggelandang di Yogya sampai akhirnya seseorang menampung Giman dalam asrama anak telantar. Singkat cerita, ayah dan abang Giman menemukan Giman di asrama tersebut.

Data lain menyebutkan, penampungan anak-anak telantar di Pulau Edam ini tak berhasil karena anak-anak yang biasa hidup liar ini akhirnya kabur dari pulau itu menuju Tanjungpriok. Pemerintah Kotapradja Djakarta Raja kala itu tak putus asa, pulau ini kemudian pernah pula menjadi penampungan kupu-kupu malam dan panti jompo pada 1957. Tapi akhirnya program ini bubar jalan juga.
 
Pulau Edam yang dikelola Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut Departemen Perhubungan (Dephub) itu dulu pernah menjadi tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Johannes Champhuis. Adolf Heuken menulis bahwa tempat peristirahatan bertingkat dua itu dibangun tahun 1685. Tahun 1691, Champhuis menyerahkan rumah itu kepada penerusnya, Joan Van Horn. Rumah itu terus digunakan oleh gubernur jenderal selanjutnya hingga diambil alih oleh VOC pada 1 Februari 1709. Sisa bangunan itu kini hanya berupa fondasi.

Andai saja armada Inggris tidak menghancurkan semua bangunan di pulau ini pada tahun 1800, barangkali, sisa kincir angin masih bisa terlihat. Kincir angin dibangun pada 1705 demi kepentingan penggergajian kayu dan bengkel pemintalan tali jangkar. Saat Jepang menguasai Indonesia, mereka meninggalkan gudang peluru di pulau sunyi ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com