Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kearifan Lokal Masyarakat Dusun Tutup Ngisor

Kompas.com - 09/02/2009, 13:20 WIB

Oleh Catur Fredi Wiyogo

Indonesia adalah sebuah gambaran statistik keragaman yang luar biasa impresif. Beragam bentuk seni budaya maupun komunitas adat menjadi kekayaan bangsa yang potensial. Komunitas adat sesungguhnya merupakan sebuah realitas sosial dari sejumlah individu yang berdiam di suatu tempat tertentu dengan sistem nilai tertentu, yang mengatur pola-pola interaksi antarindividu anggota komunitas. Ciri utamanya adalah sedentary dan local minded, termasuk pada komunitas, lingkungan tempat tinggal, dan adat istiadatnya (Lestari, 2004).

Dalam konteks kependudukan, eksistensi komunitas adat secara kuantitatif memang tidak memiliki jumlah yang signifikan. Mereka mengelompok pada wilayah tertentu yang menjadi areal pelaksanaan dan pengembangan budayanya.

Eksistensi komunitas adat selama ini cenderung dianggap sebagai bagian pelengkap dari masyarakat pada umumnya. Fungsinya cenderung dijadikan sebagai kawasan wisata, penelitian sosioantropologis, atau semata bertujuan ekonomis seraya melupakan pemenuhan hak-haknya sebagai komunitas yang harus dilindungi dari pengaruh budaya luar (mainstream culture). Padahal, subkultur sekaligus ciri khas ini dapat menjadi basis dari pengembangan budayanya, yang pada dasarnya resistensif terhadap laju perkembangan zaman.

Pada titik inilah, komunitas adat Dusun Tutup Ngisor, Dukun, Magelang, menjadi menarik dicermati. Komunitas adat ini "melawan" efek negatif modernitas lewat ekspresi seni. Komunitas yang berada 15 km arah timur laut Muntilan dan berada di ketinggian 750 m dpl dalam daerah siaga II ancaman Gunung Merapi ini menjadikan kesenian sebagai sesuatu yang inheren, integral, tak terpisahkan dengan kehidupan keseharian.

Kesenian, bagi mereka, lebih merupakan konsep ritus, menciptakan ruang atau media, bagi terjadinya interaksi berbagai energi alam yang melingkupinya. Itulah mengapa "festival kesenian tahunan" di Tutup Ngisor dijatuhkan pada tanggal 15 bulan Sura (tahun ini berlangsung akhir minggu lalu), lebih karena pendekatan ritualnya yang kuat, selain sebagai sebuah pesta komunitas.

Dari sana, mereka berekspresi, merevitalisasi diri lalu menumbuhjiwakan nilai-nilai seni tersebut dalam diri mereka untuk kemudian mewujudkannya dalam sikap sehari-hari menghadapi permasalahan hidup. Mereka percaya, dari media kesenian itu, alam akan berbaik hati memberikan inspirasi bagi hidup dan energi mereka.

Dengan kata lain, mereka berkesenian karena memang harus berkesenian. Bukan demi honorarium, popularitas, atau berbagai efek sebagaimana kalangan modernis memperlakukan kesenian. Berkesenian bagi mereka adalah untuk daya hidup, kebahagiaan, kesentosaan lahir- batin.

Mereka beranggapan bahwa kesehatan bukan hanya dalam konsep dan pengertian fisik. Kesehatan juga menyangkut kerohanian, kebahagiaan, kesenangan. Kesenian mengelola kesehatan fisik dan rohani itu secara berimbang. Lewat kesenian, eksistensi, energi, kebahagiaan, dan mimpi mereka terpenuhi.

Hal tersebut mendorong tumbuhnya kehidupan dan pandangan hidup yang selalu memperbaiki dirinya. Dalam hal ini, manusia mesti sadar dan membatasi keinginan atas kemampuannya agar ia tidak menjadi buto (raksasa, hedonis) yang menghalalkan segala cara, mengeksploitasi diri dan alam, tetapi tidak memiliki kesempatan mengeksplorasi diri dan alam.

Ritual

Lewat pola pikir dan sikap yang memercayai keberadaan pepunden yang kemudian terwujud dalam ritual-ritualnya, secara tidak langsung mereka telah melakukan usaha konservasi alam lewat caranya sendiri. Pemberian sesajen, pen-sakral-an tempat (mata air, pohon, dan lain- lain) merupakan sebuah bentuk pemeliharaan kualitas sumber daya alam yang mereka punya.

Masyarakat ini mampu menafsirkan alam dengan cara yang paling sederhana namun juga jenial. Mereka mengambil tanda dari lingkungan yang menghidupinya dan menurunkannya dalam teknologi dan pengetahuan lokal. Teknologi tersebut berkaitan dengan persoalan value, religi, dan kehidupan sosial (Maksum, 2001).

Masyarakat Tutup Ngisor sendiri tidak mengerti dan tidak mampu menguraikan seni dan kesenian. Itu tidak penting bagi mereka. Yang lebih penting ialah mereka terlibat dan memperlakukan kesenian dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, sama intensnya ketika mereka terlibat dalam kehidupan keseharian. "Rasa" menjadi patokan dalam pementasan tiap kesenian di sana. Magnis Suseno (1985) menyebut bahwa dari "rasa" yang tepat dengan sendirinya mengalirlah "sikap yang tepat terhadap hidup, terhadap masyarakat, dan terhadap kewajiban-kewajiban sendiri". Lebih lanjut, Umar Kayam (2000) menyebut bahwa daya tarik pertunjukan rakyat terdapat pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok. Prinsip kebersamaan yang mereka tanamkan sejak dahulu membuat mereka saling berbagi beban dan memikul bersama kesulitan yang dihadapi.

Oleh karenanya, tidak ada eksklusivitas di Tutup Ngisor. Sebagai masyarakat terbuka, daya adaptif mereka luar biasa. Mereka meneguhkan pengertian perubahan dalam konteks kebudayaan, yakni membiarkan terjadinya aksioma, simbiose, dan dialektika, menuju pada sintesa-sintesa kebudayaan itu sendiri. Jika banyak warna muncul di Tutup Ngisor, hal itu karena kesadaran pergaulan mereka. Mereka tidak hanya sadar untuk diambil, tetapi juga untuk mengambil. Dinamika ini yang membuat kesenian di wilayah ini bukan menjadi sesuatu yang menegangkan.

Inilah kearifan masyarakat. Psikologi sosial mengartikan kearifan sebagai pengetahuan diri, menggali makna dan hubungan secara lebih luas, memiliki perspektif luas, mengambil perspektif orang lain dalam pertimbangannya, mempunyai pandangan akurat mengenai kelebihan dan kekurangan dirinya (termasuk batas-batas apa yang dapat dilakukan), serta melihat dengan hati terhadap persoalan- persoalan penting (Leary, 2005).

Maka, jika saat ini kita masih mendapati disintegrasi yang berujung pada anarkisme perang, kita bisa belajar dari komunitas Dusun Tutup Ngisor. Di tengah masyarakat yang telah bergeser orientasi nilai-nilai hidupnya, yang lebih mementingkan materi daripada spiritualitas, yang individualis daripada komunal, kesenian masih mempunyai peranan.

Seni yang menjadi ekspresi hidup menunjuk pada sebuah simbolisme kebijakan nilai-nilai kehidupan yang lebih baik. Seni tidak lagi hanya berguna untuk pengungkapan estetis kesenian itu sendiri, tetapi sudah multidisiplin, menembus sekat ilmu teknologi dan sangat terbuka pada sebuah pemahaman baru. Yang terpenting adalah sebuah sintesa kebijaksanaan yang timbul darinya.

Catur Fredi Wiyogo Sivitas Akademika Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com