Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Gereja ke Hotel dan Toko Buku

Kompas.com - 05/02/2009, 08:50 WIB

RIBUAN bangunan gereja tua berserakan di sekujur daratan Eropa, kebanyakan tak lagi berfungsi sebagai tempat beribadah. Biaya konservasi dan restorasi jadi biang keladi hancurnya bangunan-bangunan tua itu. Hancur oleh alam, bukan oleh tangan manusia atau alat berat yang digerakkan oleh manusia. Jika akhirnya bangunan gereja - yang ditinggalkan umatnya - itu tetap berdiri dan terawat apik, faktor yang menjadi penegaknya tak lain adalah alih fungsi.

Alih fungsi memang sah-sah saja selama bangunan peninggalan berabad-abad silam itu bisa tetap berdiri seperti sedia kala. Bahkan di Belanda, negeri sejuta kebebasan, faktor moral kadang masih jadi perdebatan jika alih fungsi tersebut dinilai tak sesuai dengan fungsi semula, yakni sebuah gereja. Ada bangunan gereja yang 'hanya' berubah fungsi menjadi hotel atau toko, tetapi ada juga yang berubah menjadi diskotek.
    
Lebih dari tiga tahun lalu, pemerintah kota Maastricht, Limburg, Belanda, memutuskan untuk merestorasi atau memugar sebuah bangunan gereja di pusat kota, Dominicanenkerk atau gereja Dominican, menjadi toko buku yang bukan ala kadarnya. Gereja dari Abad ke-13 ini masuk dalam kelompok Maasgotiek, yaitu bangunan bergaya Gothic di negara yang membentang di sepanjang jalur Sungai Meuse (Maas) yaitu Belanda dan Belgia.

Gaya arsitektur ini dimulai Abad ke-13 dengan konstruksi gereja Dominican di Maastricht tersebut. Contoh paling mencolok dari Maasgotiek ada pada bangunan Basilica di Meerssen dan Onze-Lieve-Vrouwebasiliek di Tongeren tak jauh dari Dominicanenkerk. Karakteristik bangunan ini adalah menggunakan pilar-pilar yang terbuat dari batu kapur.

Restorasi bangunan bekas gereja yang letaknya di centrum alias pusat kota Vrijthof ini tak lepas dari kritik. Pasalnya, persis di belakang gedung ini dibangun pula pusat belanja terbesar di seantero Belanda, Entre Deux. Pusat belanja ini terhubung langsung dengan toko buku yang kini bisa dibilang terbesar dan termegah di dunia, Selexyz Dominicanen.

"Bayangkan, bangunan Abad ke-13 bersanding dengan bangunan bergaya supermodern. Kawasan Vrijthof dan Markt kan kawasan tuanya Maastricht, enggak pantas ada bangunan sebesar itu dengan gaya yang jauh berbeda dari bangunan lain di sekitarnya," ujar Rhea, mahasiswi Belanda, sekitar dua tahun lalu.
    
Beberapa mahasiswa lain menimpali. "Maastricht akan makin kumuh dan sesak oleh turis," kata Tineke. "Harusnya pemerintah tetap menghargai gedung itu sebagai bekas gereja. Ada garis yang tidak bisa dilanggar," kata Bela dengan nada tinggi.

Tidak sembrono
    
Apa boleh buat, pemerintah Maastricht memang sedang gencar menjadikan kota di ujung tenggara Belanda itu sebagai tujuan wisata. Kota mungil, sebagai mulut Eropa karena bersebelahan dengan Belgia dan Jerman, serta lahirnya mata uang Euro.
    
Tak tanggung-tanggung, pemerintah kota ini menginvestasi dana sebesar 110 juta Euro untuk pembangunan kompleks belanja Entre Deux dan restorasi bangunan menjadi toko buku Selexyz Dominicanen. Hasil restorasi itu memang tidak mengecewakan. Dikerjakan sekitar empat tahun, Dominicanenkerk yang memiliki lukisan dinding di atap, dari sekitar Abad ke-14 dan ke-15, ini dibuka pada November 2006 dan langsung menjadi pusat perhatian di Eropa.
    
Warta Kota menyaksikan bagaimana restorasi gedung berumur ratusan tahun itu dilakukan. Khususnya lukisan di atap gereja, di atap yang tingginya lebih dari  tujuh meter. "Gedung ini bukan hanya gereja tapi juga monumen. Restorasinya makan waktu berbulan-bulan. Terlalu banyak detail yang harus diperhitungkan. Kami tidak mau warga protes jika kami melakukan ini dengan sembrono," ujar Vanessa dari Limburg Institute of Conservation yang sudah sekitar satu tahun membantu merestorasi lukisan di atap bangunan tersebut, ketika itu. Empat tahun merestorasi memang dinilai terlalu lama. Namun demi monumen tetap terjaga utuh, itu tak jadi soal.
    
Soal restorasi dan konservasi, kota tua seluas sekitar 61 km2 ini sudah memulai ketika pada April 2005, bangunan biara bergaya Gothic lainnya, dengan masa yang lebih muda dari Dominicanenkerk, yaitu dari Abad ke-15, beralih fungsi sedemikian rupa menjadi hotel nomor wahid, Kruisherenhotel.
    
Satu hal yang pasti, pengerjaan restorasi dilakukan dengan melibatkan banyak pihak yang ahli di bidang masing-masing. Selain itu tak perlu lama menanti anggaran yang mandek di DPRD. Kucuran dananya pun tak banyak bocor di tengah jalan.
    
Bandingkan rencana mengonservasi Museum Bahari yang terlunta-lunta karena anggaran belum juga mengucur akibat terlalu lama parkir di DPRD. Ketika anggaran turun, waktu yang diperlukan untuk mengonservasi sudah dekat akhir tahun atau tutup buku. Alhasil, konservasi tak efisien. Lantas luntang-lantung lagi untuk sekian bulan ke depan menanti anggaran jatuh, itupun kalau disetujui lagi. Entah, berapa puluh tahun diperlukan hanya untuk satu bangunan saja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com