Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Rasialis Warisan Kolonial di Malaysia

Kompas.com - 05/12/2008, 09:22 WIB

Oleh Maruli Tobing

Gemerlap Kuala Lumpur, Malaysia, dengan menara kembar pencakar langit itulah merupakan etalase keberhasilan pembangunan di Dunia Ketiga. Hanya dalam waktu tiga dekade, negeri biji timah dan sawit berubah menjadi negara industri manufaktur.

Tahun 1970-an, negara yang sekarang berpenduduk 28 juta jiwa ini tidak lebih maju dibandingkan dengan tetangganya di Asia Tenggara. Bahkan, Malaysia harus mendatangkan tenaga guru, dosen, dokter, ahli pertanian, dan tenaga profesional lainnya dari Indonesia.

Kini pendapatan per kapita Malaysia sekitar 6.500 dollar AS, jauh di atas Indonesia yang hanya sekitar 1.500 dollar AS. Diperkirakan, lebih dari dua juta tenaga kerja Indonesia mencari nafkah di negeri jiran tersebut. Ratusan ribu lainnya datang dari China, India, Thailand, Myanmar, Kamboja, Banglades, Pakistan, Filipina, dan seterusnya.

Kemajuan ekonomi dan tingginya upah di Malaysia menjadi daya pesona bagi para pekerja migrasi. Akan tetapi, di balik gemerlap tersebut, suatu pergolakan sedang berlangsung. Ia adalah politik rasial warisan kolonial Inggris, yang sekarang mirip api dalam sekam.

Diskriminasi

Dalam bahasa resminya disebut keseimbangan harmonis hubungan rasial. Namun, pada masa lalu pengelompokan masyarakat berdasarkan ras adalah pilar politik pecah belah untuk memudahkan tegaknya kekuasaan kolonial Inggris.

Sejak Malaysia merdeka tahun 1957, segregasi sosial berdasarkan ras ini bukannya dilenyapkan. Sebaliknya, konstitusi Malaysia memperkuat dengan membedakan puak Melayu atau Bumi Putra dengan non-Melayu. Selain itu, Pasal 153 UUD juga menetapkan hak istimewa puak Melayu, yang sekarang menjelma menjadi ”ketuanan Melayu”. Maka, tidak mengherankan jika peran parpol berdasarkan identitas ras tetap dipertahankan, bahkan makin dominan dari tahun ke tahun. Masyarakat India, misalnya, berhimpun di bawah partai Kongres India-Malaysia (IMC); masyarakat Melayu dengan >small 2<Umno, >small 0<dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS); masyarakat China mengekspresikan kepentingan politiknya melalui Perhimpunan China-Malaysia (CMA), Partai Gerakan, dan Partai Aksi Demokratik (DAP). Sementara di Sabah dan Serawak, belasan parpol berdasarkan identitas etnik setempat.

Di panggung politik, membentuk pemerintahan dengan berkoalisi dengan IMC dan CMA dalam Aliansi. Koalisi ini membengkak setelah sejumlah partai gurem bergabung. Aliansi kemudian berganti nama menjadi Barisan Nasional pada tahun 1973. Saat ini Barisan Nasional terdiri atas 13 parpol dan tetap dipimpin oleh partai puak Melayu.

Inilah yang disebut sebagai ”hubungan harmonis antarras” dan dibanggakan sebagai fondasi bangsa Malaysia. Akan tetapi, tiga hari setelah pemilu 10 Mei 1969, ”hubungan harmonis antarras” terbukti sangat rawan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com