Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eat & Eat dan Decanter

Kompas.com - 03/12/2008, 12:18 WIB

Maaf, ini bukan iklan atau promosi terselubung. Saya justru ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk secara terbuka dan transparan menjelaskan keterlibatan saya dalam bisnis kuliner. Sejak lama saya menarik garis api atau firewall yang cukup tegas agar posisi saya sebagai komentator kuliner tidak konflik dengan kepentingan pribadi. Saya sangat berhati-hati dalam mewakili produk atau brand agar selalu dapat berposisi netral. Buktinya, hingga kini saya belum tampil beriklan, bukan?

Sebelumnya, banyak yang mengira saya memiliki rumah makan di Depok, Cibubur, Cirebon, dan beberapa tempat lain. Rumah-rumah makan itu tanpa izin saya telah memajang nama saya besar-besar di depan. Tentu saja banyak rumah makan dan restoran yang juga memajang foto dan pujian saya. Saya juga diundang menghadiri pembukaan dua foodcourts di Jakarta. Percayalah, saya tidak memiliki saham di rumah-rumah makan maupun foodcourts itu.

Bulan September yang lalu, sebuah foodcourt yang lebih suka menyebut diri sebagai food market dibuka di Mal Kelapa Gading V, Jakarta Utara, dengan nama “Eat & Eat”. Luasnya sekitar 2300 meter persegi. Di sini saya memang terlibat secara khusus. “Eat & Eat” dimiliki oleh sebuah perusahaan bernama PT Marche International. Direktur Utamanya Iwan Tjandra, seorang teman lama yang luas dikenal sebagai food artist. Iwan bertangan dingin dalam urusan makanan. Ia terlibat dalam kehadiran Ranch Market di Jakarta, dan memiliki usaha sendiri di bidang kuliner, seperti: “Singapore Yong Taufu”, “Dante”, “Nasi Bego”, dan lain-lain. Iwan bahkan menyediakan “kantor” untuk Komunitas Jalansutra di Kelapa Gading. Karena itu “Eat & Eat” secara resmi juga kami anggap sebagai “the official Jalansutra pintong place”. Pintong adalah istilah kami untuk menyebut “pindah tempat nongkrong”.

Iwan mengajak saya memikirkan konsep food market “Eat & Eat” sejak titik awal. Saya menerima honor sebagai konsultan. Syukurlah, sejak diresmikan, “Eat & Eat” menuai sukses besar. Konsepnya sangat berbeda dibanding foodcourts lain yang ada di Indonesia. Dining experience merupakan konsep yang menonjol di “Eat & Eat”. Pada akhirnya, “Eat & Eat” semakin meneguhkan Kelapa Gading sebagai kota mandiri pusat kuliner.

Kebanyakan orang menyukai gaya djadoel yang dihadirkan “Eat & Eat”. Iwan berburu sendiri hingga ke Pekalongan untuk mencari barang-barang antik. Suasana di “Eat & Eat” mengingatkan kita pada suasana masa lalu yang penuh nostalgia.

Hanya beberapa hari sebelum “Eat & Eat” dibuka, ternyata masih ada beberapa gerai yang masih kosong. Saya berhasil mengajak adik kandung saya, Edi Wijatno, yang semula memiliki gerai di foodcourts lain untuk “menyewa” gerai kosong tersebut. Tentu saja, ia minta bantuan saya untuk meramu komposisi hidangan yang akan disajikan di sana. Iwan Tjandra juga membantu Edi untuk penampilan yang cantik.

Gerai adik saya itu bernama “Bubur Ayam Benteng”. Hidangan utamanya adalah bubur ayam khas Benteng, Tangerang. Hidangan lain di gerai itu adalah bubur ikan Pontianak, bubur kambing Pekalongan, bubur lemu Solo, ketupat gulai pakis, sop ikan gurame, nasi item, dan lain-lain. Tetapi, memang bubur ayam Benteng-nya yang paling laris di situ. Bubur ini memang beda dan lebih istimewa bila dibanding bubur ayam Cirebon atau Sukabumi yang banyak dijajakan di Jakarta.

Dari semua sajian “Bubur Ayam Benteng”, yang saya anggap mak nyuss adalah bubur ayam, bubur kambing, sop ikan gurame, dan nasi item. Yang lainnya boleh dianggap top markotop. Jangan salah! “Eat and Eat” punya banyak sajian juara yang lain. Sekba, nasi ayam hainan, dan es duren di situ merupakan best sellers yang selalu diantre. Sebagai konsultan, saya committed untuk sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu hadir di “Eat & Eat” untuk melakukan inspeksi. Biasanya saya berkeliling sambil menyapa tamu-tamu.

Minggu terakhir November 2008, di Kuningan Plaza Menara Utara, dibuka sebuah wine house baru bernama “Decanter”. Baru seminggu dibuka, executive chef Johannes Pratiwanggono sudah muncul di Kompas Minggu. Bayangkan, 15 tahun lebih ia mengabdi di Hilton – termasuk di London dan Montreal – dan selalu “tenggelam” di dapur. Tetapi, baru seminggu di “Decanter”, ia langsung mendapat pengakuan media massa. Di wine house baru ini saya menempatkan sedikit modal, sekitar 5 persen. Bukan saham kosong!

“Decanter” adalah brainchild Yohan Handoyo, seorang warga Komunitas Jalansutra yang sejak awal telah menunjukkan bakatnya yang luar biasa dalam urusan wine dan makan enak. Saya hanya bertanggung jawab sebagai promotor yang membuat bukunya, Rahasia Wine, terpilih sebagai World’s Best Wine Education Book oleh Gourmand International. Selebihnya adalah 100 persen kemampuan Yohan pribadi yang membuatnya diakui sebagai ahli wine terkemuka di Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com