Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Masih Butuh Hukuman Mati

Kompas.com - 28/11/2008, 11:00 WIB

MEDAN, JUMAT — Indonesia masih membutuhkan pemberlakuan hukuman mati, khususnya terhadap pelaku tindak pidana berat hingga yang merugikan negara seperti para koruptor untuk memberi efek psikologis dan shock therapy bagi masyarakat.

"Bahkan, cakupan hukuman mati itu harus diperluas seperti untuk seluruh pelaku tindak pidana korupsi," ungkap guru besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof DR Runtung Sitepu di Medan, Jumat.

Pendapat itu disampaikannya ketika dimintai tanggapan mengenai resolusi PBB agar semua negara melakukan moratorium (penundaan) hukuman mati. Menurut Sitepu, hukuman badan yang diberlakukan selama ini dinilai masih belum efektif untuk memberi efek psikologis dan shock therapy bagi masyarakat, khususnya pelaku tindak pidana korupsi.

Malah, kata Sitepu, praktik pencurian uang negara semakin tumbuh berkembang dengan modus dan cara yang bervariasi. Indonesia mungkin perlu belajar dari China yang perekonomian dan stabilitas politiknya tidak menentu sebelum memberlakukan hukuman mati bagi koruptor.

Berbagai macam hukuman yang diberlakukan tidak membuat jera pelaku korupsi itu. "Namun, setelah hukuman mati bagi koruptor diberlakukan, perekonomian China kian maju karena banyak yang takut untuk melakukan korupsi," katanya.

Apalagi, jika praktik korupsi masih belum menghilang meski KPK sangat giat menindak pelaku tindak pidana tersebut. "Berarti, hukuman badan tidak menakutkan sehingga seluruh koruptor harus dihukum mati," kata Sitepu.

Ia menambahkan, pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor jangan diperbandingkan dengan nilai hak asasi manusia pelaku tindak pidana itu, tetapi harus dilihat dari kepentingan masyarakat banyak.

Filosofisnya, kematian seseorang yang "mencuri" uang negara lebih baik daripada harus mengorbankan hak hidup sejahtera jutaan orang lain. Pemerintah tidak perlu mentaati resolusi PBB jika ketentuan yang diberikan tidak sesuai atau kurang bermanfaat bagi Indonesia.

"Kita yang lebih tahu apa yang terbaik bagi bangsa sendiri," kata Sitepu.

Sebelumnya, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan Resolusi 629/14 pada 18 Desember 2007 untuk menyerukan semua negara anggotanya agar melakukan moratorium hukuman mati. Resolusi tersebut diluluskan melalui voting dengan hasil 104 negara setuju, 54 negara menolak, dan 29 negara memilih abstain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Ada Anwar Usman, MK Diyakini Buat Putusan Progresif dalam Sengketa Pilpres

Tak Ada Anwar Usman, MK Diyakini Buat Putusan Progresif dalam Sengketa Pilpres

Nasional
Gibran Dampingi Prabowo ke Bukber Golkar, Absen Saat Acara PAN dan Demokrat

Gibran Dampingi Prabowo ke Bukber Golkar, Absen Saat Acara PAN dan Demokrat

Nasional
Prabowo: Kita Timnya Jokowi, Kita Harus Perangi Korupsi

Prabowo: Kita Timnya Jokowi, Kita Harus Perangi Korupsi

Nasional
Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

Nasional
Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelang Arus Mudik-Balik

Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelang Arus Mudik-Balik

Nasional
Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Nasional
Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Nasional
Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Nasional
Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com