Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid Cagar Budaya Menanti Perhatian

Kompas.com - 20/11/2008, 10:43 WIB

Jalan Pengukiran, Kecamatan Pekojan, Jakarta Barat, barangkali lebih pantas disebut gang karena yang ada memang cuma jalan barang dua tapak. Di gang ini ada satu bangunan tua yang merana, yakni masjid Al-Anshor. Masjid yang kini jadi  mungil itu didirikan oleh pendatang dari Malabar (India) di abad ke-17.

Jika di tahun 1648 masjid ini berdiri luas dengan pemakaman di kompleks masjid, maka kondisinya saat ini sudah sangat jauh berbeda. Masjid itu kini berada di gang perkampungan padat. Baik pekarangan maupun makam yang diyakini sebagai makam para pendiri masjid itu kini lenyap sudah.

Masjid yang kini menyusut menjadi hanya 12 m x 12 m ini bisa dibilang sudah tak lagi asli. Pasalnya, renovasi yang pernah dilakukan tampaknya kurang memperhatikan prinsip-prinsip pemugaran. Sisa bangunan yang masih asli hanya diwakili oleh jendela berkisi, pintu, dan palang kayu di atap. Selebihnya, termasuk empat tiang penyangga, sudah berganti.

Menurut penjaga masjid, Paiman bin Legiman, yang besar di gang ini, masjid tua tersebut kini bagai tak tersentuh perhatian dari dinas terkait. "Tahun lalu kita kena banjir sampai setinggi 70 cm. Makanya mau enggak mau, kita swadaya, bikin supaya masjid aman dari banjir. Jadi kita tinggikan bagian depannya," katanya.
 
Memang, di halaman masjid itu kini terlihat sisa-sisa pembangunan yang belum kelar. "Kami mohon ada perhatian dari pemerintah sebab ini kan bangunan cagar budaya. Lama-lama bisa ilang ini masjid," kata Paiman mengungkapkan kekhawatirannya.

Upaya renovasi terakhir sudah dilakukan pada 1997 atau 10 tahun lalu. Tapi, belum lagi lewat 10 tahun dari renovasi terakhir, bangunan sudah ada yang roboh sehingga harus dilakukan renovasi sendiri oleh warga sekitar. "Tidak pernah ada survei dari pemerintah. Saya bingung, sepertinya kok putus hubungan antara pemerintah dengan masjid tua ini. Soalnya enggak pernah ada perhatian," ujar Paiman. Di mulut gang menuju masjid itu terpampang papan besar yang berisi penetapan masjid tersebut menjadi bangunan cagar budaya.

Kampung tua

Di kawasan Pekojan sebenarnya tak hanya ada masjid tua Al-Anshor. Sebagai kampung tua yang dulunya jadi pusat perkampungan warga India dan Arab, masih ada masjid?-masjid tua lainnya di sana. Antara lain masjid An-Nawier yang dibangun tahun 1760, sebagai salah satu masjid terbesar bukan saja di Pekojan, tapi juga di Jakarta Barat. Lalu ada masjid Langgar Tinggi yang dibangun tahun 1829 dan terletak persis di tepi Kali Angke. Masjid lainnya adalah Jami'atul Khair yang didirikan tahun 1901. Tapi dari semuanya itu, Al-Anshor lah yang paling merana.

Masjid An-Nawier bisa menampung hingga 2.000 jamaah. Di bagian belakang masjid terdapat makam Syarifah Fatmah binti Husein Alaydrus yang mendapat julukan Jide (nenek kecil) yang hingga kini makamnya masih diziarahi banyak orang. Masjid ini memiliki 33 tiang di ruangan salat dan menara masjid yang menyerupai mercusuar yang merupakan keunikan masjid tersebut.

Masjid Langgar Tinggi dinamakan seperti itu karena masjid tersebut berlantai dua dan ketika itu para pedagang yang sedang melewati Kali Angke dapat langsung mengambil air wudu di tempat ini. Masjid itu dibangun oleh seorang kapiten Arab bernama Syekh Said Naum. Sebelum menjadi kapiten dia adalah seorang pedagang yang cukup kaya di Palembang.

Adapun masjid Jami'atul Khair bermula ketika pada awal abad ke-20 di Pekojan berdiri madrasah Jamiatul Khair (perkumpulan kebaikan), tepatnya pada tahun 1901. Organisasi itu dibentuk oleh Ali dan Idrus, keduanya dari keluarga Shahab. Perkumpulan ini menimbulkan simpati dari tokoh-tokoh Islam, seperti KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Cokroaminoto (pendiri Syarikat Islam) dan H Agus Salim.

Asal-usul Pekojan
 
Nama Pekojan berasal dari kata Khoja atau Kaja, suatu nama daerah di India yang sebagian masyarakatnya bermata pencaharian pedagang dan beragama Islam. Selain berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam di daerah ini.

Prof Van de Berg dalam bukunya Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara menyebutkan, sebelum dihuni etnis Arab dari Hadramaut, daerah ini terlebih dahulu menjadi kediaman orang-orang Bengali/Koja dari India.
 
Salah satu kebijakan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) terhadap etnis yang ada di Batavia adalah menempatkan mereka  pada daerah tertentu berdasarkan etnisnya (Wijkstelsel). Selain itu VOC juga memberlakukan politik Passenstelsel.

Dengan sistem ini penduduk Pekojan yang akan ke tempat lain harus membawa kartu pas jalan. Dari pembagian wilayah berdasarkan etnis itulah maka sekarang ini kita kenal adanya Kampung Melayu, Bali, Banda, Makasar, Jawa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com