Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jual Beli Artefak adalah Kejahatan

Kompas.com - 13/11/2008, 11:32 WIB

PEMBANGUNAN dan pelestarian harus berjalan beriringan. Maka sudah seharusnya, setiap pembangunan juga memperhatikan aspek pelestarian agar tidak terjadi kejahatan dalam pelestarian.

Sesuai Undang-undang (UU) No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB), setiap pembangunan harus mengikutsertakan arkeolog. Jika tidak, maka akan terjadi kejahatan dalam pelestarian seperti jual-beli artefak. Demikian komentar arkeolog senior Universitas Indonesia Prof Dr Mundardjito menanggapi perlakuan terhadap temuan di galian di kawasan kota tua saat dihubungi Warta Kota, akhir pekan lalu.

"Itu (jual beli artefak_Red) sudah masuk crime. Pembangunan kan harus mendukung pelestarian. Saya tidak anti-pembangunan tapi pembangunan itu sendiri juga jangan bertentangan dengan pelestarian. Harus mengindahkan kaidah-kaidah arkeologi. Kan ada UU-nya.

Kalau bukan di situs, ya, enggak jadi soal," paparnya. "Kalau sampai bisa diperjualbelikan itu kan sudah masuk kejahatan pidana. Bagaimana dengan para arkeolog yang ada di Pemprov DKI atau di Depbudpar (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Red), mereka kan tahu harusnya bagaimana, kok diam saja," imbuh Mundardjito.

Mundardjito menekankan penyelamatan artefak itu tak hanya menyelamatkan barang saat ada penggalian kemudian disimpan di museum. "Kita juga perlu konteksnya. Kalau artefak sudah lepas dari konteks (dari lapisan di mana artefak ditemukan) itu hanya akan menjadi data yang tak berkonteks seperti barang-barang yang dijual di Jalan Surabaya (Jakarta Pusat_Red). Kita perlu konteks sebagai kunci rahasia bagi proses budaya yang pernah berlangsung," demikian penjelasannya.

Mundardjito menyarankan agar Pemprov DKI segera menurunkan arkeolog di proyek?proyek pembangunan khususnya di situs kota tua.

Secara terpisah Hardini Sumono, Kasubdit Perlindungan Direktorat Peninggalan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mendukung Mundardjito. "Kalau memang Pemprov DKI kekurangan arkeolog, kan bisa bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya jurusan Arkeologi UI atau dengan Puslitbang Arkenas (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional -Red)," katanya.

Menurut Hardini arkeolog tak bisa sekonyong-konyong turun ke lapangan tanpa koordinasi dengan pihak terkait, "Memang mereka bisa memberi advis tapi kalau mereka tidak tahu ada penggalian dalam rangka pembangunan, ya, sulit."

Hardini menegaskan perlunya fungsi pengawasan dari pihak terkait. Sosialisasi kepada pemborong dan masyarakat soal situs dan pentingnya temuan?temuan dari hasil galian, juga tak kalah penting. "Sudah ada aturan-aturannya kan? Jadi jangan sampai salah prosedur sehingga artefak bisa dijualbelikan secara bebas," ucapnya lagi. Sementara itu Indra Riawan, Direktur Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, mengatakan, potongan keramik kini ada di museum yang dipimpinnya. "Sekarang sedang dianalisa oleh pakar keramik dari Puslit (Pusat Penelitian) Arkenas (Arkeologi Nasional)," ujarnya.

Ia menambahkan, masih ada keramik utuh berupa guci kecil yang diamankan pihak Dinas Pekerjaan Umum. "Saya juga belum tahu. Tapi saya dengar PU mengamankan temuan itu," begitu ia menjawab kala Warta Kota menegaskan, apakah maksudnya adalah temuan yang siap dijual oleh orang yang tak paham arti temuan tersebut yang awal pekan lalu ditemui Warta Kota. (pra)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com