Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amandemen UU Migas 2009

Kompas.com - 24/09/2008, 10:15 WIB

JAKARTA, RABU - Inisiator Amandemen UU Migas no 22 tahun 2001, Ana Muawanah mengatakan, saat ini badan legislasi (Baleg) DPR sudah mulai membahas revisi UU Migas. Baleg juga sudah dalam tahapan finalisasi untuk selanjutnya diharapkan dapat dimasukan dalam program legislasi nasional (prolegnas 2009).

"Amandemen UU Migas no 22 tahun 2001 ini sudah sangat mendesak. Ini karena terbukti UU itu sudah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini, dan juga karena banyak menimbulkan masalah," ujar Ana Muawanah di Jakarta, Selasa (23/9).

Ana mengatakan, ketika UU Migas dibuat posisi Indonesia dalam tekanan IMF, sehingga kepentingan asing benar-benar ada dalam pembahasan UU ketika itu. UU ini mengkooptasi UUD 45 pasal 33. Menurut anggota DPR dari F-PKB itu, revisi ini juga didorong karena keputusan MK yang telah membatalkan beberapa pasal yang merugikan dan bertentangan dengan UUD 45, namun pemerintah tidak juga diimplementasikan.

Dijelaskan, Tim pengusul telah membahas perubahan sebanyak 7 pasal dari UU tersebut yang isinya antara lain pembatasan lama kontrak dan perpanjangannya dan mengenai diperlukannya persetujuan DPR dalam menyepakati sebuah perjanjian terlebih perjanjian itu menyangkut hajat hidup orang banyak.  "Dalam UUD tertera kalau negara membuat perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR," tegasnya.

Sementara itu Direktur Eksekutive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, carut marutnya kebijakan energi Indonesia karena tidak adanya sinergi antara Kementrian dan BUMN energi yang terkait. Carut marut impor minyak juga sudah banyak dibicarakan seperti mengenai mafia impor minyak yang menjalankan dengan sistem kartel.

"Contohnya seperti perusahaan yang terdaftar di pertamina ada 15 yang menjadi importir minyak. Namun hanya ada 5-7 perusahaan yang selalu menang dalam proses tender," ujarnya.

Adapun kemenangan mereka pun telah diatur seperti arisan. Mereka menggunakan sistem Kartel karena setiap tender mereka dipatok keuntungan 2 dolar perbarel. Satu dolarnya mereka bagikan kepada yang kalah. Ini sistem yang sudah lama terjadi sampai kini.

Sedangkan Ridaya Laode dari Publish What You Pay Indonesia mengatakan hanya ada dua masalah jika membicarakan mengenai impor minyak yaitu pertama adalah tidak adanya transparansi. Transaksi selama ini tidak berubah sejak zaman Hindia Belanda, seperti chevron yang sudah beroperasi disini sejak zaman penjajahan. 

"Yang kedua adalah bahwa dalam situasi yang tidak transparan, praktek-praktek pencarian keuntungan dari pihak yang seharusnya tidak diuntungkan itu terjadi. Seperti mafia yang mengintervensi dan mendapatkan ruang yang terbuka demikian juga dengan kartel," paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com