Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hip Hop dan Bossanova Rasa Jawa

Kompas.com - 19/09/2008, 23:18 WIB

Oleh Pepih Nugraha

Saat berkunjung ke Bali, grup Nazareth memberi salah satu judul lagunya Java Blues. Sebagai sebuah genre, irama blues sangat kental terasa, meski mereka kelompok musik beraliran rock. Dalam dunia musik dan industri rekaman, ada istilah hip hop Jawa, jazz Jawa, atau bossanova Jawa. "Rasa" Jawa itu ada meski menggunakan "media" hip hop atau bossanova.

Ia dikemas dalam rekaman suara dan gambar berbentuk kaset atau cakram digital, baik CD maupun VCD. Peredarannya sebagian besar di Pulau Jawa, mereka yang bersinggungan dengan bahasa dan budaya Jawa.

Sebelum pembajakan merajalela, peredarannya bisa menembus batas provinsi maupun negara. Di mana orang Jawa banyak mendiami sebuah wilayah, di sanalah musik Jawa beredar luas, mulai dari Sumatera Utara sampai Suriname.

Salah seorang yang tak terlalu ambil pusing dengan merajalelanya para pembajak dan terus berupaya agar anak-anak muda tak kehilangan akar budaya Jawa-nya, setidaknya tetap bersenandung lirik Jawa dengan irama hip hop, jazz atau bossanova adalah Wandy Gaotama.

Dia pemilik Indo Music Record (IMC) yang berbasis di Semarang, Jawa Tengah. Ia mengkhususkan diri memproduksi musik Jawa dalam berbagai irama. Dari tangannya lahir kaset maupun CD bossanova Jawa yang sudah mencapai tiga volume. Juga lahir hip hop Jawa yang dibawakan dua remaja, Arif dan Aska, dengan pelesetan liriknya yang menjungkirbalikkan realitas.

Pernah pula Wandy melahirkan "congdut" alias keroncong dangdut, spa Jawa dan house music. Kini yang sedang dalam penggodokan dapur rekaman adalah orkestra Jawa dan fussion Jawa. Semua menggunakan unsur Jawa, baik alat musik maupun bahasa. Jadilah sarongdan bonang menyelinap dalam komposisi orkestra bertajuk Walangkekek.

Uniknya, orkestra di sini bukanlah kumpulan musisi dengan alat musiknya masing-masing, tetapi sekadar perpaduan alat musik yang
direkam bertahap di dapur mixing, yang digarap penata musik Steve Handoyo. "Dari segi bisnis, belum banyak diharapkan, apalagi harus menghadapi pembajakan. Tetapi saya punya misi, melestarikan musik Jawa. Mungkin terlalu melangit, paling tidak agar anak-anak muda Jawa tidak meninggalkan kejawaannya," kata Wandy pekan lalu.

Suara burung

Wandy tergolong "anak kemarin sore", baik dalam usia maupun pengetahuan musik Jawa, sebagaimana yang diakuinya. Tetapi, ia ingin berbuat sesuatu terhadap cara dan budaya yang melekat dalam dirinya sebagai warisan. Cara dan budaya itu tidak lain dari Jawa, yang ia rinci lagi sebagai musik Jawa. "Saya hanya fokus pada musik Jawa," ucapnya.

Usia 34 tahun masih tergolong belia untuk sebuah misi melestarikan musik Jawa, tetapi ia berusaha konsisten
memelihara "kejawaannya" untuk tidak tergoda beralih pada bahasa lain. Untuk itulah, irama musik apa pun yang ia gunakan, tetap
menggunakan sentuhan Jawa, baik instrumen maupun bahasa.

Berbeda dengan upaya yang dilakukan Irama Baru Record diMakassar, Sulawesi Selatan, yang juga mendedikasikan diri kepada musik rekaman dengan bahasa Makassar atau Bugis. Di sini, irama musik sebagai media penyampai pesan tetap irama pop dengan peralatan musik modern. "Irama musik yang kami ciptakan bermacam-macam, tidak terpatok pada pop. Ada musik tradisional seperti gending Jawa, tetapi juga jazz, bossanova, spa dan relaksasi, keroncong, dangdut, campursari, hip hop, sampai orkestra Jawa," kata Wandy ditemani istrinya, Reni.

Wandy mengaku menerima tugas berat ini dari ayahnya, Arif  Gaotama, sebagai pemilik IMC, yang menyatakan pensiun dan menyerahkan usaha itu kepadanya. "Saya ini suka jazz dan rock, tetapi harus mengurus musik Jawa. Hanya karena kecintaan dari hati sajalah yang memungkinkan saya bertahan," ujarnya.

Kalau mau mengambil jalan pintas menangguk uang besar selagi muda, kata Wandy, bisa saja ia memanfaatkan ilmunya sebagai desainer interior lulusan Universitas Trisakti tahun 1990. Sempat memanfaatkan ilmunya dua tahun saja, tetapi ia lalu lebih berkonsentrasi menggeluti rekaman musik Jawa.

Arif Gaotama dan istrinya Yenny, orangtua Wandy, memulai usaha rekaman sejak tahun 1980-an dengan mengibarkan musik tradisional Jawa. Tetapi, uji coba yang "nyeleneh" dilakukan tahun 1998, saat Arif merekam berbagai jenis suara burung. Di Jateng kala itu, burung menjadi komoditas berharga, sama seperti jenis tanaman tertentu saat ini. "Harga seekor burung perkutut bisa ratusan juta rupiah," kenang Wandy.

Maka jadilah perkutut, murai, kutilang, walet sampai beo sebagai "artis" yang suaranya masuk dapur rekaman. Satu suara burung
satu kaset, tidak dicampur-campur, dan itu suara asli burung. Dengan harga Rp 5.000 sampai Rp 7.000 per kaset, Arif bisa menjual ratusan ribu kaset yang tentu tidak harus membayar royalti kepada si empunya suara! "Saya ingat, Ayah pernah dikomplain orang gara-gara merekam dan mengedarkan suara burung beo. Ayah dikira menipu, sebab suara beo di kaset sama seperti suara manusia," kenangnya. Tentu saja burung beo yang berbahasa Jawa.

"Booming" Kempot

Wandy berkisah, seorang musisi Jawa tahun 1998 pernah bertandang ke kantor ayahnya. Dia membawa contoh rekaman suaranya di kaset. Lagunya Stasiun Balapan. Wandy mengaku, ayahnya yang kini tinggal di Semarang bersama ibunya punya insting bisnis kuat. "Orang ini punya sentuhan musik Jawa yang khas, di samping lirik-liriknya yang 'nyeleneh' pada masa itu," kata Wandy mengutip ucapan ayahnya.

Orang itu tak lain adalah Didi Kempot, yang kemudian menjadi tambang emas IMC. Didi mengibarkan musik Jawa yang tak hanya
disenandungkan orang Jawa yang tinggal di Indonesia, tetapi sampai disenandungkan orang Jawa di Suriname. Karena sukses, kata
Wandy, "Ayah menghadiahi Didi sebuah mobil."

Kini di tengah upaya menarik minat anak muda terhadap musik Jawa, Wandy dihadapkan pada ganasnya pembajakan. Salah satu cara menghadapinya adalah menurunkan serendah mungkin harga kaset, CD, maupun VCD. Dengan begitu, pembajak tidak bisa lagi membanting harga dan pilihan jatuh pada kaset atau CD asli.

Rekaman dalam bentuk VCD yang ia beri nama Visoke alias VCD Ekonomi Asli Iso Karaoke, misalnya, dihargai Rp 10.000 per keping dan sudah memasuki edisi sembilan. Artis dan musisi seluruhnya lokal.

Selain seri Visoke, album bossanova Jawa sudah keluar tiga volume, di samping sejumlah artis lokal lain. Total seluruh rekaman
serba Jawa yang dihasilkannya setelah ayahnya nonaktif mencapai 30-an jenis. Minimal setiap jenis rekaman diproduksi 5.000 keping. Bila kaset atau VCD itu laku di pasaran, bisa direkam ulang.

Wandy merahasiakan jumlah penjualan VCD maupun kaset per bulannya. Tetapi dari segi keuntungan, meski harus berlomba dengan para pembajak, perusahaan rekamannya tetap bisa berproduksi. "Kalau tak ada keuntungan, tidak mungkin perusahaan ini bisa terus
bertahan."

IMC pun bisa menjadi saluran bagi artis dan musisi lokal seperti Didi, Manthous dan Cak Diqin mengaktualisasikan diri. Tentu dalam
berbagi irama musik....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com