Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hip Hop dan Bossanova Rasa Jawa

Kompas.com - 19/09/2008, 23:18 WIB

Usia 34 tahun masih tergolong belia untuk sebuah misi melestarikan musik Jawa, tetapi ia berusaha konsisten
memelihara "kejawaannya" untuk tidak tergoda beralih pada bahasa lain. Untuk itulah, irama musik apa pun yang ia gunakan, tetap
menggunakan sentuhan Jawa, baik instrumen maupun bahasa.

Berbeda dengan upaya yang dilakukan Irama Baru Record diMakassar, Sulawesi Selatan, yang juga mendedikasikan diri kepada musik rekaman dengan bahasa Makassar atau Bugis. Di sini, irama musik sebagai media penyampai pesan tetap irama pop dengan peralatan musik modern. "Irama musik yang kami ciptakan bermacam-macam, tidak terpatok pada pop. Ada musik tradisional seperti gending Jawa, tetapi juga jazz, bossanova, spa dan relaksasi, keroncong, dangdut, campursari, hip hop, sampai orkestra Jawa," kata Wandy ditemani istrinya, Reni.

Wandy mengaku menerima tugas berat ini dari ayahnya, Arif  Gaotama, sebagai pemilik IMC, yang menyatakan pensiun dan menyerahkan usaha itu kepadanya. "Saya ini suka jazz dan rock, tetapi harus mengurus musik Jawa. Hanya karena kecintaan dari hati sajalah yang memungkinkan saya bertahan," ujarnya.

Kalau mau mengambil jalan pintas menangguk uang besar selagi muda, kata Wandy, bisa saja ia memanfaatkan ilmunya sebagai desainer interior lulusan Universitas Trisakti tahun 1990. Sempat memanfaatkan ilmunya dua tahun saja, tetapi ia lalu lebih berkonsentrasi menggeluti rekaman musik Jawa.

Arif Gaotama dan istrinya Yenny, orangtua Wandy, memulai usaha rekaman sejak tahun 1980-an dengan mengibarkan musik tradisional Jawa. Tetapi, uji coba yang "nyeleneh" dilakukan tahun 1998, saat Arif merekam berbagai jenis suara burung. Di Jateng kala itu, burung menjadi komoditas berharga, sama seperti jenis tanaman tertentu saat ini. "Harga seekor burung perkutut bisa ratusan juta rupiah," kenang Wandy.

Maka jadilah perkutut, murai, kutilang, walet sampai beo sebagai "artis" yang suaranya masuk dapur rekaman. Satu suara burung
satu kaset, tidak dicampur-campur, dan itu suara asli burung. Dengan harga Rp 5.000 sampai Rp 7.000 per kaset, Arif bisa menjual ratusan ribu kaset yang tentu tidak harus membayar royalti kepada si empunya suara! "Saya ingat, Ayah pernah dikomplain orang gara-gara merekam dan mengedarkan suara burung beo. Ayah dikira menipu, sebab suara beo di kaset sama seperti suara manusia," kenangnya. Tentu saja burung beo yang berbahasa Jawa.

"Booming" Kempot

Wandy berkisah, seorang musisi Jawa tahun 1998 pernah bertandang ke kantor ayahnya. Dia membawa contoh rekaman suaranya di kaset. Lagunya Stasiun Balapan. Wandy mengaku, ayahnya yang kini tinggal di Semarang bersama ibunya punya insting bisnis kuat. "Orang ini punya sentuhan musik Jawa yang khas, di samping lirik-liriknya yang 'nyeleneh' pada masa itu," kata Wandy mengutip ucapan ayahnya.

Orang itu tak lain adalah Didi Kempot, yang kemudian menjadi tambang emas IMC. Didi mengibarkan musik Jawa yang tak hanya
disenandungkan orang Jawa yang tinggal di Indonesia, tetapi sampai disenandungkan orang Jawa di Suriname. Karena sukses, kata
Wandy, "Ayah menghadiahi Didi sebuah mobil."

Kini di tengah upaya menarik minat anak muda terhadap musik Jawa, Wandy dihadapkan pada ganasnya pembajakan. Salah satu cara menghadapinya adalah menurunkan serendah mungkin harga kaset, CD, maupun VCD. Dengan begitu, pembajak tidak bisa lagi membanting harga dan pilihan jatuh pada kaset atau CD asli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com