Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puisi-puisi Ni Putu Rastiti

Kompas.com - 17/09/2008, 02:55 WIB

Hari yang Pergi
    : di wr. made

Meja di sudut
tak lagi punya ruang untuk kita
tiap percakapan
 mabuk oleh segelas wiski
tak ada yang tau
kapan lagu terakhir
  usai dilantunkan

Bulan menggenangi atap teduh
sepasang kekasih
saling meraba masa silam
  yang tak terbaca

Kau yang tak pernah mengetuk pintuku
katakan siapa yang tersedu
di depan cermin
 antara dinding biru ini
berulang mengeja namamu

Aku di perempatan
menunggu isyarat lampu jalan
namun peta rumahmu
 lebih dulu raib oleh waktu

Siapa yang tahu
kemana hari membawamu pergi

Kau dan Aku
   :parinatra CN.   

Jangan kenali aku
seperti suara sumbang penyanyi tua
atau nada lepas
 senar gitarmu yang tertinggal

Duduk berseberang
antara gelas kosong dan sup jagung dingin
siapa yang peduli
  jemari kita beradu
menyusuri kesepian masing masing

Mungkin aku penjaga taman
yang hanya punya gumam bosan
tak mampu melompat
 lebih jauh dari angan
melampaui kenangan
  yang melulu muram

Seseorang terbata memanggil namamu
sedang angin
tak membisikkan apapun

Apa yang kauharapkan
dari perempuan yang menggodamu
   dengan tangisan
melankoli lagu cinta
 atau sebuah kisah melodrama

Aku bukan lilin untuk matamu yang rindu cahaya
Kau bukan penunggang kuda
  dengan mawar terselip di ikat pinggang
Kita
hanya serangga buta yang saling curiga

Tiap Orang

: di desa taro

di sini
percakapan terulang di tiap tikungan
seorang lelaki dan perempuan
 malu malu beradu gumam
kemudian perlahan
  saling menggenggam

perempuan bergaun jingga
menyapa barisan awan
sia sia
 langit berubah warna
meninggalkan ulat hijau
yang masih memimpikan
  sepasang sayap
 di rindang pohon tumbang

seekor katak melompat ke dalam mendung
 lalu ke dalam embun selembut bibirmu
membayangkan kolam biru
 dalam doa
  yang lupa kau panjatkan
sedang di sini
daun daun menyisakan basah
ketukan pelan di antara mimpiku
melinang diam diam
 bersama bayang kekasih
kemarin petang

adapula lelaki tua
menggoda dirinya bermain di bawah hujan
basah oleh masa silam
  kecupan yang tiba tiba

mungkin kau memang benar
      di sini
tiap orang punya kenangan
 setapak jalan yang selalu bersilang
    ke masa silam

KAU
   : puspita jogja

kau seperti angsa putih yang bermain sendiri
mencari sayap warna warni
        di setiap kolam yang kaujumpai

kalender hanya punya sebuah hari
untukku dan untukmu
tapi kita selalu terdiam
             hanya terdiam
memandangi kepompong biru
 yang menjelma kupu kupu
dan seekor lebah mati 
     tertangkap tak sengaja oleh tanganmu
  
kau bercerita tentang pengemis bisu
      yang mengganggu tidurmu
berulang meminta koin bergambar tuhan
lalu berlalu dan kembali datang menjelang malam

sudahkah kau bosan bercerita
atau kita mengigau saja
sampai kantuk benar benar cemburu
dan kita tergoda untuk mendengkur

aku harus pergi, katamu acap kali
tapi angin masih saja dingin
secangkir kopi bali
tak sanggup menemani sampai pagi

kau tetap saja angsa putih
    yang bermain sendiri
mencari kawananmu
di setiap kolam warna warni

siapa lagi yang ingin kautemui
setelah perjamuan kemarin, lagi lagi
hanya menjadi
kenangan yang lain

Hari Sedih

Hari-hari sedih
Bocah malang di gang lengang
Satu datang dari pengungsian
Satu hilang bersisian petang

Di Pegayaman
Ada yang tak jemu mengucap Tuhan
Sedang aku hanya punya sebaris sajak
 ---Pengantar tidur Ibuku---
 
Usia mungkin singgah di kota ini 
Tapi tak ada warna biru di danau-danau
Atau layang-layang terbang hingga malam

Aku jauh di tikungan entah
memimpikan anggur-anggur
lampu-lampu jalan
dan ciuman lekasmu di Lovina

Kini, apa yang dibayangkan sampan terakhir di Lovina?

Kota utara yang lain

Ada banyak cerita tentang megah istana
Dan silsilah indah para raja
Tapi satu luput dari ingatan
Dari ukiran dinding candi
 ---kisah setia sepasang prajurit
 mengadu nasib baik di bawah  jembatan---

Orang-orang datang dari seberang
Topi coklat mereka mengangankan surga
Sedang seorang kelana memahat syair tripitaka
Di tembok kota
Angin lovina pun mengembara
 Di telapak Sang Budha

Kota ini adalah anggur ranum
untuk kelana yang ingin hujan ;
kursi tunggu kosong
di stasiun ;
baris doa di malam purnama ;
wajah-wajah tengadah
di Lovina

Pagi Hari
  : jl. nangka  
Aku berlarian
ingin kunaiki gerobak tua bocah itu
meniru kaleng-kaleng yang tak mau diam
ingin jadi mainan

Di ujung tikungan
tak ada jalan lain
selain gerbang biru rumahmu
tak ada pohon atau angin dingin
cuma aku dan sebuah bangku

Aku datang
aku tak punya siapa-siapa
seperti pelangi yang datang
namun tak menemukan hujan

Aku berlarian
sepertinya ada teduh yang mesti disentuh
bulan pualam yang tak lagi milik malam
atau rambut merah bocah itu

kini ia berbincang
tentang bintang
yang mirip ibunya

Adikku

Adikku, adikku
Menyanyilah sesaat
Sebab cahaya lampu tak sampai kamarku

Apa yang kau bayangkan
saat menyentuh rambutku
Malaikat cantik di mimpimu
Atau mainan yang ingin riang
di bawah bantalmu

Aku rindu tangis kecilmu
Sedang kau tak lagi minum susu
dari Ibu

Petang ini, tidurlah di sampingku
Dekap aku seperti dulu
Saat kau mimpi dikejar hantu
Dan tangismu melinang di kasurku
Ceritakan luka di kakimu padaku
Atau teman nakal yang mencuri rotimu

Tak usah nyalakan lilin
Atau ambilkan selimut
Datang dan peluklah aku

Aku lihat sungai

Aku lihat sungai di punggungmu
Kusentuhkan tangan
Kau datang dengan mawar sewarna matamu
Masa silam datang sebelum aku
Aku lupa untuk apa menutup pintu

Aku lihat sungai di rambutmu
Kusentuhkan bibirku
Ikan-ikan melompat
Menghitung lengang dari tempatku berdiri

Kau usap matamu
Aku cium noda hitam di keningmu
Tak ada selimut atau bantal
Menawarkan malam lain di ujung tahun

Aku berkata
Untuk dinding yang mengulang namamu
Beri aku sejenak sajak dan sekecup mabuk
Untuk setiap mimpi
Akhiri hari ini

Datanglah kau dengan hiasan natal
Kubiarkan diriku
Jadi cemara malam

Musim Hujan dan Ayahku   

untuk siapa batas mata terbuka
suara hujan di ujung tikungan
atau selinang embun
di ujung daun?

tak ada kunang-kunang atau bulan
di senyap hari
tak ada igauan
selain langit yang berseru
untuk nasibnya sendiri

senyum di wajahmu sederai gerimis
aku terbaring di sisian petang
masih membayangkan hari minggu
yang dijanjikan

musim hujan telah sampai
di atap rumah
kau tengadah di atas tikar
mengenang dingin
  : setapak jalan ke masa silam
    taman hijau, danau biru
    selendang kelabu yang tertinggal
di pangkuan

tak ada burung atau pelangi
di senyap hari
tak ada air mata yang melinang sengaja
selain hati kelana
yang memilih pergi

Malam

: kububingin
Malam adalah sebentuk sajak
untuk kumbang sendirian
Sedang malam dalam diriku
adalah sungai liar dalam dirimu

Hujan tak akan berhenti
di telapak tangan
sebab selengkung pelangi beranjak
di antara pagi
wajah dan payung-payung
untuk semua burung
yang kedinginan 

Hari yang selesai
adalah gaun biru di remang pagi,
perahu mungil Sungai Seine,
atau dengkuran lelaki
di gerbong terakhir
 
Seperti bulan di musim hujan
Aku selalu datang
Meski bimbang dalam kecupan
dalam malam yang mendekap

Kau melambai pada basah tanganku
Aku mencoba mengingat doa di antara sisa hari

13 Februari

Gerimis dalam dirimu lebih dingin
Dari hujan yang sempat jatuh di jalanan

Siapa yang paham isyarat langit mendung
Atau pohon-pohon tak mau hujan
Selain ciuman lekas
yang membekas

Sedang gerimis dalam dirimu
Kembali menderas di tanganku

Kau datang tanpa mengucap salam
Bisik burung-burung
 setengah ragu
Kepak sayap yang mungkin berakhir
di puisiku

Lalu apa yang mesti kita rayakan setelah hujan?

Di jendela
     : danes art
ketika kulihat dirimu dari jendela
sepasang kunang
ragu bercumbu

kau adalah senja di setiap taman,
kuas setengah basah
sapaan pagi di senyap hari
sedang angin lirih saja di jendela
seperti buih wiski
sejenak mampir di celah bibir

malam lewat selekas cumbumu
payung-payung untuk wajah tengadah
yang telanjur basah
dan di tanganku leleh lilin
meski tak ingin

seperti Qays yang membayangkan
kaktus tua adalah Layla
kukirim nyanyian ini
untuk seratus burung
menyapa riak air dalam dirimu

pada hari yang berakhir sebagai hari
kunyatakan pada diri
: matahari benam di jendela yang lain


Aku melihatmu
 
Aku melihatmu di jalan jalan
di setiap papan perhentian
Antara bus kota
dan nyanyian penyanyi gelandang

Kota ini penuh hujan
Serintik di rambut penarik becak
Serinai di punggungnya
bercampur peluh

Lampu berubah merah
anak anak berlarian menawarkan koran
sedikit sayat sakit terkulum senyum simpulnya
Aku melihatmu menawarkan manisan
namun mereka berlalu
dengan segenggam koin bergambar wajahmu

Biarkan payung mereka tertutup
Kita bersama menari
Sebelum loket terbuka

Aku akan kembali ke kota ini
Bersamamu, menyaksikan pelangi
mendengar tawa anak anak lagi

Sajak kelana

Kau adalah november
Meniupkan hari yang penuh mimpi

Tak perlu ada ragu
Biar kedua tanganmu bersisian
Menjelang perjalanan

Kapal telah disiapkan
Laut memburu menawarkan ombak
Bergerak tanpa layar atau peta jalan
 Tak ada beda

Semalaman dengan kartu kartu
Hanya hujan di luar yang tahu
Lapar tak lagi cukup menahan waktu

Sisihkan saja tidur saat kembali
Penuhi lagi cerita untuk esok hari

Burung Kecil

Burung di langit kecil
Untukkukah ciuman bimbang di paruhmu?

Siulmu cuma sampai atap
Dnding kamarku tak ingin gema yang dulu

Sayap sayap mu kukumpulkan satu satu
Ingin jadi lukisan
 atau sekadar hiasan
Untuk hati di lengang hari

Datanglah sebelum petang
Sebelum habis layangan terulur
Sebab aku harus tidur

Kamar
  : Krsn 

Petang datang, lari – lari kecil
bintang yang riang
lelah singgah di mimpi setengah larut
jam pertama lewat tanpa selimut

dinding mengulang ragu
kata kata mengawang hingga pojok ruang,
di bawah meja, di atas lemari, dan sebuah kursi

kamar ini menyimpan cuacanya sendiri
menandai hari
dengan butir debu
dengan laba – laba dan jaring kelabunya
serta dengung nyamuk yang terperangkap sia – sia 

akan datang langkah lain
menghibur laparmu dengan suara gitar
meski senarnya sumbang
lagu – lagu mencatat setiap botol wiski
di malam minggu
  
kamar ini mendekap dirimu
antara yang silam
yang terlupakan
 yang mungkin tak lagi datang

---------------------------------------

Ni Putu Rastiti, lahir di Denpasar, 28 November 1989. Kini kuliah di Program Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Udayana. Perkenalan dengan sastra dan teater dimulai sejak duduk di bangku SMA.

Sempat menyutradarai pementasan dramatisasi puisi dalam rangka GATEL ( Gelar Teater La Jose ) 2006. Alumnus SMAN 1 Denpasar ini seringkali melakukan pementasan musikalisasi puisi di beberapa acara seperti peluncuran buku dan pembukaan Pameran Oom Pasikom di Danes Art Veranda, Denpasar. Di penghujung tahun 2007 ia tampil sebagai salah satu pemain utama dalam pementasan drama modern, yang berjudul “Stasiun Nun” di Danes Art Veranda. Karya-karya puisinya beberapa kali dimuat di Bali Post, Media Indonesia, Koran Tempo serta terkumpul dalam beberapa antologi, yakni, Jalan Angin (2006), Kota di Utara Peta (2007), Kampung Dalam Diri (2008).

Peraih Singa Ambara Raja Award 2007 dalam Lomba Cipta Puisi ini juga sempat menjadi Juara II dalam Lomba Penulisan Puisi tingkat nasional tentang Pluralisme Perempuan di Jakarta tahun 2007. Dalam Lomba Pembacaan Cerpen se-Bali  yang digelar Teater Angin pada tahun 2007, ia meraih Juara III. Kini ia aktif dalam kegiatan penulisan cerpen, puisi dan esai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com