Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ditjen Pajak Makin Agresif

Kompas.com - 10/09/2008, 07:49 WIB

JAKARTA, RABU - Direktorat Jenderal Pajak serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan akan lebih agresif dan fokus memeriksa dua sektor usaha, yakni real estat dan jasa konstruksi. Ini dilakukan karena pembayaran pajak dari kedua sektor tersebut selalu di bawah jumlah yang seharusnya.

”Pemeriksaan tersebut dilakukan mulai tahun ini. Prosesnya mungkin tidak akan selesai dalam waktu sebulan, tetapi kami fokuskan mulai tahun ini. Mungkin setelah Lebaran,” ujar Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution di Jakarta, Selasa (9/9).

Menurut Darmin, pemeriksaan atas kedua sektor tersebut dilakukan karena pembayaran pajak dari para pelaku usaha di kedua sektor itu berada di bawah acuan umum yang telah diperhitungkan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Acuan normal pembayaran pajak dari sektor real estat dan jasa konstruksi seharusnya 3 persen dari omzetnya. Namun, sebagian besar pengusaha di kedua sektor ini, terutama di kalangan pengusaha real estat dan jasa konstruksi besar, membayar di bawah angka acuan tersebut.

Sebelumnya pemerintah memutuskan pajak penghasilan (PPh) bagi perusahaan jasa konstruksi dan real estat ditetapkan menjadi 3 persen atas omzet dan bersifat final. Langkah itu diharapkan memberi kejelasan penagihan pajaknya. Sebelumnya, PPh perusahaan jasa konstruksi ditetapkan tidak final sehingga penuh ketidakpastian, merugikan pengusaha, dan penerimaan negara lebih rendah daripada potensinya.

Namun, untuk real estat, hingga kini pemerintah belum mengeluarkan peraturan resmi yang memberikan ketetapan PPh finalnya. Saat ini sudah ada kesepakatan antara Ditjen Pajak dan pelaku usaha di sektor real estat bahwa PPh untuk sektor ini ditetapkan 1 persen untuk rumah sederhana sehat (RSH) bernilai jual Rp 55 juta per unit dan 5 persen untuk non-RSH.

”Karena mereka menolak penerapan tarif baru itu mulai tahun ini, kami lakukan pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan atas laporan keuangan tahun 2005, 2006, dan 2007. Jadi, tidak hingga batas kedaluwarsa 10 tahun,” ujar Darmin.

Sebelumnya, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Ditjen Pajak Sumihar Petrus Tambunan mengatakan, tingkat kesulitan penagihan PPh kepada perusahaan jasa konstruksi disebabkan ketidakjujuran pelaku usahanya. Banyak yang mengaku menjadi pengusaha makanan atau minuman, padahal ia juga memberikan jasa konstruksi.

PPh final

Pengusaha real estat sekaligus anggota Panitia Anggaran DPR, Enggartiasto Lukita, mempersilakan petugas pajak memeriksa neraca dan laporan rugi laba perusahaan real estat karena itu lumrah. Namun, sebelum itu dilakukan, pemerintah sebaiknya fokus pada upaya mempercepat penerbitan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang PPh final sektor real estat.

Pengusaha dan Ditjen Pajak sama-sama berkepentingan untuk menerapkan aturan penagihan pajak yang jelas. Dengan penerapan pajak final, pengusaha dan petugas pajak bisa terbebas dari kecurigaan terjadinya negosiasi dalam penetapan pajak yang harus dibayar.

”Dengan tarif pajak final, pemerintah akan memperoleh potensi penerimaan yang signifikan. Sebab, berapa pun rugi labanya, Ditjen Pajak bisa menagihkan PPh atas omzetnya atau atas berapa unit rumah yang dijual. Sampai saat ini hal tersebut belum diberlakukan karena PP-nya belum terbit. Perhitungan PPh-nya masih ditetapkan atas dasar rugi laba yang sangat tidak jelas,” ujar Enggartiasto.

Pada kesempatan yang sama, Ditjen Pajak mengungkapkan bahwa realisasi penerimaan pajak (termasuk PPh migas dan penerimaan nonmigas) Januari-Agustus 2008 sebesar Rp 367,636 triliun atau 68,78 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN Perubahan 2008. Meski demikian, realisasi penerimaan tersebut setara dengan 110,69 persen di atas target Januari-Agustus 2008.

Secara detail, penerimaan pajak nonmigas (tanpa memperhitungkan PPh migas) pada Agustus 2008 mencapai Rp 46,132 triliun atau tumbuh 40,46 persen di atas realisasi penerimaan pajak nonmigas pada Agustus 2007. Adapun realisasi penerimaan PPh migas pada Agustus 2008 dilaporkan mencapai Rp 48,89 triliun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com