JAKARTA, RABU - Ketua Umum DPP Partai Hanura, Wiranto, mempertanyakan apakah masih relevan dikotomi sipil militer. Tegas dikatakan mantan Pangab era Orde Baru ini kalau dikotomi itu sudah tidak relevan lagi. Dalam diskusi yang diadakan di DPD, Rabu (3/9) Wiranto juga menyatakan, bila terus terjebak dalam dikotomi sipil-militer, mencari pemimpin yang berkualitas, maka itu adalah sebuah kesalahan besar.
"Militer yang sudah pensiun haknya sama dengan sipil dan tidak bisa lagi gunakan atribut militernya. Militer tidak bisa digeneralisasi, tidak selalu pikirannya otoriter. Didunia militer ada bermacam-macam karakter yang berbeda dimana ada kompetisi yang ketat sehingga tidak semua eks militer punya kualitas yang sama. Ada kompetisi yang ketat yang berdasarkan pengabdian, bakat, dan psikotest," kata Wiranto.
Wiranto menjelaskan, psikotest dilakukan sejak dirinya masuk menjadi tentara untuk menentukan apakah yang seorang punya bakat sebagai militer. Kemudian, cerita Wiranto lagi, psikotes berlanjut sampai jenjang karir selanjutnya, sehingga bisa dilihat apalkah bisa menjadi seorang komandan atau tidak.
"Oleh karena itu, figur pemimpin nasional tidak boleh buat dikotomi sipil militer. Yang menjadi acuan adalah apalah eks militer ataupun sipil sudah memenuhi kriteria pemimpin masa depan atau tidak. Paling tidak, yang bersangkutan harus memahami permasalahan bangsa saat ini," katanya.
Pernyataan Wiranto diamini oleh Ketua Umum DPP PAN, Soetrisno Bachir. Penerus Amien Rais ini juha berpendapat sama, sipil militer tidak usah dipermasalahkan lagi sebab penguatan sipil sudah merupakan suatu keniscayaan paska era reformasi.
"Wiranto sebagai capres juga bukan lagi mewakili militer karena sudah pensiun dan telah menjadi masyarakat sipil. Pemimpin masa depan harus mencari solusi bangsa yang jawabannya adalah membangun peradaban baru bangsa ini. Banyak budaya yang cenderung negatif saat ini dan teradopsi oleh budaya bangsa kita," Soetrisno Bachir berargumen.
Bagi pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusabakti, figur militer memang lebih kuat dalam kepemimpinan dan lebih cepat dalam bertindak. Akan tetapi dalam sejarah, negara ini pernah punya dua presiden dari militer yang karakternya berbeda.
"Satunya banyak belajar kepada sipil, sedangkan yang satunya lagi kebetulan mendapat gelar doktor sehingga enggan untuk belajar. Kalau seorang presiden itu ngambekan dan marah saat rapat kabinet, maka rakyat akan berpikir dua kali untuk memilih kembali, sebab perilaku-perilaku tersebut akan mempengahuri pskikologi massa," papar Ikrar.
Menurutnya, seorang presiden cukup memimpin skala makro dan menyerahkan urusan mikro kepada para pemimpin daerah. Seorang presiden, jelasnya lagi, cukup memberikan pengarahan-pengarah ah saja.
"Kita belum punya model bagaimana seorang presiden itu bisa terpilih. Bung Karno dan Soeharto terpilih karena faktor sejarah, Gus Dur naik karena kepentingan politik poros tengah, Mega terpilih karena Gus Dur jatuh, SBY tidak punya pengalaman dalam dunia politik dan tidak punya pengalaman jadi pemimpin daerah. Ini menjadi tantangan bagi generasi mendatang, untuk memilih pemimpin masa datang, jangan sekadar beriklan tapi rakyat tidak tahu bagaimana visi misinya ke depan," ungkap Ikrar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.