Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marzuki dan Kesetiaan pada Saman

Kompas.com - 13/08/2008, 22:53 WIB

Tarian Aceh, syair, dan pantun juga telah menjadi pengimbang setiap konflik yang sering terjadi di tempat itu. Budaya yang lembut
menjadi penyeimbang dari konflik yang keras. Ditempa situasi konflik, darah seniman tetap mengalir pada
Marzuki. Bahkan, ketika menamatkan Sekolah Guru Olahraga di Yogyakarta tahun 1970, Marzuki yang seharusnya mengajar pendidikan olahraga tetap memilih berkesenian.

Walaupun sempat menjadi pelatih fisik pada sebuah klub bulu tangkis, Marzuki merasa tidak cocok dan terus berkecimpung di bidang seni. Maka, tahun 1975 dia mengajar budaya Aceh dan seni tari di kampus yang dikenal sebagai Institut Kesenian Jakarta (IKJ) hingga kini.

Di sela-sela mengajar, dia tetap aktif berkesenian. Tahun 1978 di bawah kelompok Cakra Donya, bersama almarhum Nurdin Daud, dia
menciptakan tari Rampa yang di dalamnya memuat berbagai ragam tari Aceh. Rampa inilah yang dikenal sekarang sebagai tari Rampai Aceh. "Tari ini aslinya berdurasi 75 menit," ucapnya.

Sejak 1977 hingga kini, Marzuki mengaku masih menjadi penari di istana. Dia membawakan tari Aceh yang dia buat sendiri dan selalu
berubah sesuai tema. Menggabungkan gerakan Saman, Ratoh, Seudati, Laweut, dan masih banyak lagi tari Aceh. "Setidaknya ada 40 gerakan," ujarnya.

Ia juga pernah menjadi peneliti budaya dan mendampingi peneliti Jerman, Prof Dr Margaret dari Munich University, yang meneliti Rateb Meuseukat. Selain banyak pula koreografer yang berguru kepada Marzuki, ia juga pernah berkolaborasi dengan Dwiki Dharmawan, Guruh Soekarnoputra, dan Gilang Ramadhan.

Keunikan lain dari Marzuki, dia tak mau hanya berkutat menjadi personel sebuah kelompok. "Saya malah lebih ingin memberi warna kepada semuanya. Saya ini bukan milik kelompok tertentu saja," katanya.

Respons luar

Di antara banyak tari Aceh, yang paling mendapat respons adalah Rateb Meuseukat yang dikenal sebagai Saman. Saman telah melewati batas-batas agama, budaya, bahkan benua. Dek Gam, pengajar tari Saman dari Taman Mini Indonesia Indah
Anjungan NAD, mengatakan, tari Saman telah menjadi ekskul favorit di sekolah-sekolah kawasan Jabodetabek, mengalahkan modern dance. "Pak Uki yang memopulerkan tari Saman ke Jakarta, saya ini generasi penerusnya," ujar Dek Gam.

Bisa dibilang, semua SMA di Jabodetabek yang punya ekskul tari Saman mengenal nama DekGam dan Pak Uki. Hampir tiap minggu selalu ada festival yang diikuti belasan hingga puluhan SMA. Karena tradisi festival ini, banyak variasi gerakan tercipta. Ini berbeda dengan di Aceh yang jarang ada festival sehingga gerakan tari masih standar.

Di mancanegara, tari Saman juga melambung. Marzuki adalah salah seorang yang beruntung menyaksikan seni daerah itu punya pamor melebihi yang pernah dia pikirkan. Sudah puluhan kali Marzuki diundang ke berbagai belahan dunia,
mulai dari Amerika, Afrika, Australia, Eropa, apalagi Asia. "Ke Amerika saya sudah belasan kali, ke Timur Tengah juga sering. Saya di Amerika keliling kota sampai 40 hari untuk menampilkan tari aceh," ceritanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com