Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusia (1): "Dinginnya" Moskwa di Musim Panas

Kompas.com - 11/08/2008, 12:11 WIB

APA yang ada di benak Anda begitu mendengar kata Moskwa? Tembok Kremlin, Lapangan Merah, atau komunis? Ya, pasti itu menjadi salah satu dari beberapa ikon Moskwa yang terlintas di benak kita bukan? Hal itu pula yang pertama kali terlintas di pikiran saya. Tapi ternyata ada hal lain yang sama sekali tak terpikirkan, dan justru lekat dengan kota ini.

Dua puluh jam perjalanan udara, akhirnya saya mendarat di Bandara Sheremetyevo 2, Moskwa, Rusia. Pukul 13.50 waktu Moskow. Di Negeri Beruang Merah ini jarum jam bergerak tiga jam lebih lambat dibanding Jakarta. Tapi perjalanan panjang ini belum selesai. Tujuan kami adalah Chelyabinsk, sebuah kota di utara Kazakhstan, di kaki pegunungan Ural yang membatasi Benua Asia dan Eropa.

Awalnya saya pikir, kami hanya cukup transit dan memindahkan barang bawaan seperti di Bandara Changi, Singapura, dan Bandara Ataturk, Istanbul. Di sana kami transit dan berganti pesawat sebelum tiba di Moskwa. Tapi ternyata kali ini berbeda.

Sebenarnya, jarak Moskwa dan Chelyabinsk hanya sekitar dua jam penerbangan. Namun, masalahnya, kami tak hanya harus berganti pesawat, tapi juga harus berganti bandara. Sebab, penerbangan ke Chelyabinsk hanya ada di Bandara Demodedovo.

Sheremetyevo 2 adalah satu dari tiga bandara internasional yang ada di kota Moskwa, selain Domodedovo dan Vnukovo. Sheremetyevo 2 yang merupakan bandara terbesar kedua setelah Domodedovo, pertama kali dioperasikan pada 1 Januari1980 untuk penyelenggaraan Olimpiade musim panas. Saat ini terminal 2 tersebut difungsikan sebagai jalur penerbangan luar negeri.

Nah, repotnya, Sheremetyevo 2 tidak mempunyai bangunan penghubung dengan Sheremetyevo 1 yang menjadi terminal domestik. Keduanya hanya menggunakan fasilitas landas pacu yang sama, tapi berbeda gedung.  Hal yang sama juga dijumpai di Bandara Perth di Australia dan Bandara Davao di Filipina.

Jauh dari kesan mewah seperti yang kami dapati di Bandara Changi, Singapura, atau Ataturk International Airport di Istanbul, Sheremetyevo 2 lebih mirip Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta. Warna cat abu-abu dan coklat kusam dengan plafon pendek dan lantai keramik “jadul” (jaman dulu), seolah serasi dengan pandangan dingin dari para petugas imigrasi yang memeriksa dokumen-dokumen kami.

Sungguh dingin. Tak ada senyum apalagi keramahan yang diberikan olah orang-orang Rusia yang bertugas di bandara itu. Puncaknya terjadi kala kami bertemu dengan dua wanita yang menjaga loket imigrasi. Mereka hanya mengambil paspor yang disodorkan, lalu sibuk dengan perangkat komputer. Setelah itu mereka mengintip foto di paspor dan meneliti wajah orang di depannya. Benar-benar memandang dengan teliti. Berulang kali bola matanya berpindah pandangan dari foto di paspor kemudian kembali menatap orang di depannya.

Jika tak ada masalah, paspor lalu diletakkan begitu saja di atas meja, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut mereka. Setelah itu besi penghalang terbuka, tanda pemeriksaan selesai. Seperti berhadapan dengan robot, batin saya.

Sejarah panjang sebagai negara tertutup pasti banyak memberi pengaruh pada gaya interaksi orang-orang di kota ini. Mereka pun jadi terkesan lebih tertutup saat berhubungan dengan orang asing. Andai mereka bisa lebih ramah dan terbuka, pasti arus wisatawan ke negeri ini akan jauh lebih melimpah. Suasana perjalanan pun akan terasa lebih nyaman.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com