Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/08/2008, 09:06 WIB

Di Medan, belum lama ini, saya mendapat kejutan menyenangkan lagi. Ini membuat saya semakin yakin bahwa Medan adalah salah satu kota di Indonesia dengan tradisi kuliner yang luar biasa. Perpaduan antara tradisi kuliner Melayu, Jawa, Tionghoa, Arab, dan India menjadikan kota ini sebagai belanga pemadu yang sungguh seronok.

“M&R” adalah sebuah restoran yang relatif baru, berlokasi di Jalan Taruma – sebuah kawasan yang juga dikenal sebagai Kampung Keling, Kampung Sendiri, atau Kampung Madras. Memasuki restoran kecil ini, saya seperti mengalami deja vu. Ini di Medan atau di Malaka, sih? Tempatnya ditata secara minimalis dengan perabotan Tionghoa peranakan.

Menunya pun menampilkan berbagai masakan Tionghoa maupun masakan fusion Tionghoa-Melayu yang dikenal dengan sebutan masakan peranakan atau nonya foods. Genre masakan ini populer di Malaka dan Penang di Malaysia, serta juga di Singapura.

Saya langsung tertarik pada satu menu yang dicantumkan dengan nama “gurame kencong”. Bunga kencong atau kincung di Sumatra Utara adalah sebutan untuk bunga kecombrang di Jawa. Orang Sunda menyebutnya honje. Di Bali disebut bongkot. Di Malaysia, bunga yang sama disebut bunga kantan. Dalam bahasa Inggris disebut torch ginger. Tanamannya memang mirip jahe, tetapi bunganya lebih bagus, warnanya merah muda.

Bunga kecombrang banyak dipakai dalam berbagai masakan Nusantara. Di beberapa tempat, buah kecombrang yang mirip nenas juga dipakai sebagai asam. Di Tatar Sunda, banyak yang memakai buah kecombrang untuk membuat sayur asam. Di Kebumen saya juga selalu melihat bunga dan buah kecombrang dijual di pasar. Di Sumatra Utara, buah kecombrang disebut asam tikala.

Di “M&R”, gurame kencong inilah yang mengejutkan saya. Penampilannya sederhana, namun citarasanya jauh melebihi apa yang tampak. What you get is much more than what you see. Guramenya digoreng utuh. Di atas gurame goreng ini disiramkan saus asam pedas yang dibuat dari rajangan cabe rawit, bawang merah, bawang putih, dan bunga kecombrang. Rasanya? Mak nyuss! Sulit menggambarkan sensasi rasa yang merekah di dalam rongga mulut ketika menyantapnya.

Harus saya akui, bunga kecombrang seringkali memberi efek kejut yang menyenangkan bagi saya.

Belum lama ini, di Baturraden, dekat Purwokerto, saya makan di sebuah rumah yang dioperasikan sebagai warung tanpa nama. Hidangan andalan di rumah ini adalah ayam goreng dadak. Artinya, ayam kampung yang sudah diungkep (direbus dalam bumbu) sampai empuk, lalu digoreng bila ada tamu yang memesan.

Ayam gorengnya enak. Tetapi, lauk-pauk pendampingnya yang enak lebih menggetarkan saya. Salah satunya adalah tempe yang terbuat dari kedelai kuning dan kedelai hitam, dan dibiarkan terus berproses setelah fermentasinya selesai. Orang Jawa menyebutnya sebagai tempe semangit alias setengah busuk. Bahkan pete gorengnya pun istimewa. Ada juga tumis daun pakis. Sebagai penyuka pakis atau paku, sayur ini tentu saja tidak akan saya lewatkan. Maka, saya pun langsung terkejut. Ternyata, pakisnya ditumis dengan berbagai bumbu, salah satunya adalah rajangan halus bunga kecombrang. Sungguh, sangat mengesankan!

Bunga kecombrang memang disukai warga Sumatra Utara – baik dari puak Melayu maupun Tapanuli. Di provinsi ini ada satu jenis sayur yang hampir selalu dapat ditemukan di semua warung dan rumah makan, yaitu: sayur daun ubi tumbuk. Sayur ini dibuat dari daun singkong yang ditumbuk, dimasak dengan sedikit santan, dengan bumbu bunga kincung. Selain daun singkong, juga diisi dengan rimbang atau cempokak yang membuatnya semakin menggigit. Kadang-kadang juga dicampur dengan sedikit teri nasi. Sayur sederhana ini sangat cocok untuk mendampingi hampir semua jenis lauk-pauk yang populer di sana. Di kalangan orang Tapanuli yang menyukai babi panggang, sayur ubi tumbuk dipercaya sebagai penetral kolesterol.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com