Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sudah Menikah Kok Masih Tergantung Orangtua?

Kompas.com - 26/07/2008, 12:02 WIB

Orangtua yang kekanak-kanakkan atau kid-parents, begitulah sebutan untuk seseorang yang sudah dewasa, bahkan sudah menikah, tapi masih menggantungkan diri pada orangtuanya.

Istilah kid-parents merupakan pengembangan dari istilah kidult (kid-adult) yang diperkenalkan pertama kali oleh psikolog Jim Ward-Nichols dari Steven Institute of Technology di New Jersey, AS. Kidult adalah fenomena mengenai seseorang yang sebenarnya secara umur sudah dewasa, tapi masih senang menikmati kehidupan dan kebiasaan anak-anak atau remaja belasan tahun.

Akhirnya, ketika menjadi orangtua, mereka tetap menggantungkan kebutuhan hidup pada orangtuanya. Singkatnya, mereka adalah sosok yang menolak menjadi dewasa karena tak mau kehilangan zona nyaman masa kanak-kanak yang tak menuntut tanggung jawab besar. Nyatanya, sebagian kid-parents berkilah bahwa mereka menerima bantuan dan perhatian bukan karena menuntut demikian, tetapi semata-mata karena kesukarelaan orangtuanya. Lantas, apa ruginya?

Simaklah pengakuan ibu 2 anak berusia 29 tahun ini:

"Sebagai bungsu dari 3 bersaudara dan satu-satunya wanita, saya memang menjadi tumpahan perhatian dan kasih sayang keluarga, terutama ayah. Meskipun lumayan protektif, ayah selalu mengabulkan keinginan saya. Waktu masuk SMA, saya sudah dihadiahi mobil keluaran terbaru. Masuk kuliah, mobil pemberiannya tambah bagus lagi. Saya juga tidak pernah kekurangan uang saku.

Meski di rumah ada 3 pembantu, saya punya pembantu khusus untuk melayani saya yang disediakan ibu ketika saya kelas VI SD. Mbak Nah ini yang selalu menemani saya ke mana-mana. Bahkan sampai saya kuliah, Mbak Nah menemani saya tidur dengan menggelar kasur di bawah tempat tidur saya.

Harus diakui, dengan semua fasilitas dan kemanjaan yang diberikan ayah-ibu, saya menjadi pribadi yang selalu tergantung. Waktu menikah pun saya dibekali rumah dan mobil baru oleh ayah. Nah, karena terbiasa diladeni, saya jadi kagok mengerjakan pekerjaan rumah. Terus terang, sampai saya punya 2 balita saya belum pernah mengerjakan pekerjaan sebagai ibu. Begitu anak-anak lahir, ibu langsung menyediakan 2 babysitter. Makanan anak-anak pun merekalah yang menyiapkannya. Saya hanya mengajak main. Karena nyaris tidak pernah masak, saya dan suami jadi lebih sering jajan atau dikirimi makanan oleh ibu karena kebetulan kami tinggal berdekatan.

Sampai sekarang saya masih rutin dapat kiriman uang dari orangtua. Nilainya lumayan besar, tapi saya bilang ke suami tidak seberapa karena khawatir dia tersinggung. Suami sih sudah sering mengajukan protes terhadap kelakuan saya yang masih suka hura-hura bareng teman, seperti lunch di mal. Padahal secara finansial sebetulnya gaji suami lebih dari cukup untuk membiayai rumah tangga. Tapi entah kenapa saya senang-senang saja menerima pemberian ayah dan ibu. Kalau shopping dengan mama, saya malah enggak segan-segan minta dibelikan barang."

TAK ADA YANG ABADI

Boleh jadi dulu ayah ibu senior adalah sosok yang mampu tegak berdiri dari kepahitan hidup dan akhirnya menjadi orang sukses. Nah, agar anaknya tak ikut merasakan "jatuh-bangun" seperti mereka, jadilah si anak dimanja dengan berbagai fasilitas agar tidak merasakan susahnya perjuangan hidup.

Menerima bantuan orangtua, seperti lazimnya yang berlaku dalam tradisi keluarga besar, sebenarnya sah-sah saja. Letak kesalahannya ada pada sikap selalu mengandalkan orangtua senior sebagai jalan keluar dari masalah berkeluarga.

Mungkin saja kakek-nenek berdalih hendak membantu cucunya karena bagi para sosok manula ini membantu cucu merupakan "kebutuhan" tersendiri. Akan tetapi hendaknya ini jangan dijadikan sebagai pengalihan peran dan tanggung jawab orangtua si cucu. Ingat, segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang berlangsung abadi. Orangtua bisa sewaktu-waktu meninggal dunia dan hartanya bisa habis tak berbekas.

PISAH RUMAH BUKAN JAMINAN

Di negara Barat, masalah domisili bisa menjadi indikasi kid-adult. Namun di Indonesia, hal ini tampaknya tak dapat disamaratakan. Ada beberapa alasan. Umumnya karena zaman sekarang suami-istri sama-sama bekerja di luar rumah dengan perjalanan yang amat menyita waktu. Tinggal serumah dengan kakek dan nenek membuat orangtua Indonesia merasa lebih aman meninggalkan anak-anaknya bersama pengasuh.

Alasan kedua, tinggal bersama orangtua selama beberapa tahun membantu pasangan yang baru menikah untuk bisa menabung dan membeli rumah sendiri ketimbang dipakai untuk menyewa.

Nah, jika pasangan tetap menjalankan perannya secara penuh dengan memenuhi kebutuhan anak-anak dan rumah tangganya, tentu tidak bisa dikategorikan sebagai kid-parents. Bahkan, tak jarang mereka justru menanggung biaya pengelolaan rumah tangga orangtua senior, seperti urusan listrik, telepon, gaji pembantu, belanja mingguan, dan sejenisnya.

Sebaliknya, meski tinggal di rumah sendiri yang terpisah jauh, mungkin saja pasangan suami-istri tetap mempertahankan perangai kid-adult-nya. Peran baru sebagai suami-istri sekaligus ayah-ibu sama sekali tidak memberi tanggung jawab berarti.

Yang jadi masalah sebenarnya bukan soal besar-kecilnya penghasilan pasangan kid-parents ini. Melainkan, keasyikan berhura-hura mengejar kesenangan pribadi dan kealpaan menyiapkan anak-anak mereka menjadi pribadi yang mandiri.

Santi Hartono

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com