Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geliat Pelukis Poster Film Bioskop

Kompas.com - 25/07/2008, 16:10 WIB

Di tengah geliat film nasional, profesi langka ini kembali bangkit menjadi ujung tombak promosi. Walau terpaan teknologi menghadang, karya seni ini tetap bertahan "hidup".

Salah satu pembuat poster film adalah studio milik Kemal Rachman (40). Ditemui di studionya di kawasan Depok, Kemal berkisah mulai merintis usahanya sejak 2003. "Awalnya cuma sebatas obrolan dengan teman-teman yang sudah lama menjadi pelukis poster seperti ini. Mereka mengaku kesulitan memasarkan karyanya. Nah, karena saya bekerja di bidang marketing, saya membantu mereka untuk menjual jasa ini ke setiap PH (production house) dan bioskop."

Ternyata, upaya Kemal berbuah manis. Pesanan poster membanjir. Sampai-sampai ia harus melepas posisinya sebagai tenaga marketing di sebuah perusahaan dan fokus menggarap bisnis studio poster filmnya.

Tak hanya membuat poster film untuk bioskop kawasan Jakarta, ia juga membuat untuk di daerah, seperti Batam, Manado, Makassar, dan Sumatera. Banyaknya tergantung berapa jumlah copy film yang disebarkan. Rata-rata untuk satu film, Kemal mendapat pesanan 40 sampai 60 buah poster kain dengan berbagai ukuran.

Pelukis lanjut usia

Semakin bagus filmnya, semakin banjir pesanan poster. "Untuk film sukses seperti Ayat-Ayat Cinta, saya dapat pesanan 115 buah poster kain dengan berbagai ukuran dan dikerjakan dalam waktu satu minggu," ujar ayah tiga anak ini.

Dalam sebulan, Kemal bisa menghabiskan sekitar 100 bal kain sebagai media poster. "Dalam seminggu bisa datang pesanan membuat poster untuk dua film. Minggu ini saja saya sedang mengerjakan pesanan poster dari PH berjudul Babi Ngepet dan Kesurupan. Belum lagi pesanan reguler dari bioskop 21. Kurang lebih 90 persen poster film yang beredar saya yang buat," ungkapnya yang tak hanya melukis poster film produksi nasional.

Kemajuan teknologi dalam percetakan diakuinya secara tidak langsung mengancam keberadaan usahanya. Meski begitu, ia berani adu kualitas posternya dengan poster cetak digital. "Dengan biaya produksi lebih murah, kualitasnya enggak kalah jika dibandingkan dengan cetak digital," lanjut Kemal yang mempunyai tujuh orang karyawan khusus melukis poster kain.

Uniknya, para pelukis tersebut rata-rata sudah lanjut usia. Bahkan, beberapa di antaranya berumur 70 tahun. Kurangnya penghargaan dari dunia perfilman kepada para pelukis poster film, menurut Kemal, membuat generasi muda enggan menekuni profesi ini.

Salah satu pelukis poster film berusia lanjut adalah Dadi (65). Lebih dari 40 tahun ia menggeluti dunia ini. Tangan kakek bertubuh tambun ini masih terlihat cekatan mengusap kuas di atas kain. Melukis atau menggambar memang disukai Dadi sejak berusia belasan tahun. Ia awalnya melukis conte dengan menggunakan pensil.

"Lalu, sejak berusia 20-an tahun saya mulai membuat poster film. Awalnya hanya suka melihat tetangga saya membuat poster," ungkapnya yang belajar melukis secara otodidak. Dadi tak bisa lupa gambar pertama yang dibuatnya, "Filmnya berjudul Ananda yang diperankan oleh Rahmat Hidayat dan Lenny Marlina. Kemudian film Susan Felani yang berjudul Neraka Perempuan."

Sulit lukis Tukul

Selama menekuni profesinya, Dadi hafal sekali guratan-guratan wajah setiap aktor atau aktris. Namun, ada juga beberapa orang aktor yang menurutnya susah dilukis. Antara lain, almarhum Edi Sud dan Tukul dalam film teranyarnya, Otomatis Romantis.

"Saya biasa melukis wajah yang cantik atau ganteng, begitu ketemu yang seperti Tukul, jadinya sulit. Terlebih melukis bagian bibirnya yang monyong. Nah, kalau aktor Barat yang sulit dilukis adalah Anthony Quin karena bentuk wajahnya yang panjang. Yang paling gampang dilukis adalah Rahmat Hidyat, Rano Karno, dan Benyamin S," ujarnya yang dalam sehari bisa menyelesaikan lima poster film.

Dadi berkisah, selama menjadi pelukis poster ia turut merasakan pasang surut bisnis perfilman Indonesia, termasuk dalam hal tren poster. Sebelum tahun 80-an, ungkapnya, poster film banyak yang vulgar alias buka-bukaan. Selepas itu, dunia film lebih ketat. "Tak ada poster film yang memperlihatkan bagian-bagian sensitif, semisal dada."

Masa kelesuan perfilman Indonesia pun sempat dirasakan Dadi pada tahun 90-an. Pada tahun itu, tuturnya, demi menghidupi keluarganya ia nyambi menjadi tukang ojek di daerah Bogor, dekat tempat tinggalnya. "Lima tahun ngojek, saya lalu memutuskan untuk kembali menjadi pelukis poster. Soalnya waktu itu film kembali banyak dan berlanjut sampai sekarang."

Memang, kini roh perfilman Indonesia seakan bangkit. Begitupun profesi pelukis poster yang kembali menggeliat. Dadi mengaku bersyukur. Secara perekonomian ia merasa sangat terbantu. Dalam seminggu ia menerima gaji Rp 300.000.

"Memang sih kerjanya berat. Beberapa hari dalam seminggu saya harus begadang untuk menyelesaikan pesanan. Tapi, enggak apa-apa demi keluarga," tutup pria berambut panjang ini yang berhasil menghidupi istri dan enam anaknya dari melukis poster.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com