Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Achmady, Keberuntungan Nomor 4

Kompas.com - 07/07/2008, 15:10 WIB

SEBAGAI calon gubernur Jawa Timur yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa, Achmady tentulah sibuk. Turun ke daerah-daerah melakukan sosialisasi, pastilah butuh waktu. Membuat janji sehari bersamanya nyaris selalu tidak pas, terlebih lagi ia lebih banyak menghabiskan waktu di Mojokerto, daerah yang selama dua periode dipimpinnya.

Untunglah pada Rabu (18/6), kesempatan bersama itu tercapai, ketika Achmady hendak bertemu KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur

Hidup seorang Achmady bergulir sejak shalat subuh. Sebelumnya, pada dini hari sekitar pukul 01.00 atau pukul 02.00, terkadang lelaki paruh baya ini shalat malam sebelum melanjutkan tidur sampai menjelang shalat subuh.

Rabu (18/6), seusai shalat subuh, tamu-tamu sudah berdatangan. Namun, harus diakhiri karena cagub yang berpasangan dengan Brigjen TNI (Purn) Suhartono itu bersiap-siap berangkat ke Surabaya sebelum pukul 07.00. Rencananya, pukul 09.30 Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tiba dari Jakarta di Ruang VIP Bandara Juanda, Sidoarjo.

Sambil menanti kedatangan itu, Achmady singgah ke salah satu rumahnya di Jalan Gayungsari, Surabaya. Rumah itu menjadi posko tim pemenangan Achmady dan dihuni beberapa orang anggota tim suksesnya.

Achmady tiba di bandara pukul 10.13, persis ketika Gus Dur mendarat dan turun dari bus yang mengantar ke ruang VIP Juanda. Achmady segera menyambut dan mencium tangan mantan Presiden RI itu. Achmady juga tidak segan melepaskan daun pintu yang terkancing sendiri supaya kursi roda yang membawa Gus Dur bisa masuk.

Ketika berdiskusi di ruang VIP berdua dengan Gus Dur, mantan Bupati Mojokerto itu pun segera membantu mengangsurkan cangkir berisi teh. Dia juga sigap menerima kembali cangkir dari Gus Dur setelah isinya diminum.

Hal serupa dilakukan ketika Achmady mengajak Gus Dur yang hanya ditemani seorang asisten dan seorang anggota pengamanan makan siang di Rumah Makan Tempo Doeloe di kawasan Juanda. Gelas berisi es teh diletakkan tepat di depan Gus Dur. Ketika tahu goreng pesanan Gus Dur sudah siap, Achmady juga sigap mendekatkan piring berisi tahu dan mangkuk kecil berisi kecap.

Girang dapat nomor 4

Seusai berbincang dengan Gus Dur dan melakukan beberapa panggilan telepon, Achmady beranjak keluar ruang. Dia mencari ajudannya yang saat itu bertugas, Irwan. Saat berjalan, kakinya terlihat menari-nari. Kakinya dilangkahkan ke depan dan belakang, bergantian antara yang kanan dan kiri. Tubuh tampak mengikuti alunan kaki dan tangannya diayunkan seperti berjoget-joget kecil.

Achmady juga melonjak kecil seperti anak-anak kegirangan. Paras lelaki setengah baya ini tampak gembira. "Nomor empat itu paling pas. Sebab tahun ini 2008, angka-angkanya kalau dijumlahkan 10, berarti genap. Dari nomor urut (calon kepala daerah Jatim) 1 sampai 5, memang angka genapnya 2 dan 4, tetapi yang paling besar ya 4," tutur ayah Muhammad Rizal Oktavian dan Ellisa Dwi Jayanti itu. Ketika pengundian dilakukan Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur pada Senin (16/6), pasangan Achmady-Suhartono (Achsan) memperoleh nomor urut 4.

Angka 4 juga diyakini menunjukkan tanda-tanda berkah.  Misalnya, kursi itu umumnya berkaki empat. "Tidak bisa berkaki satu, dua, atau tiga. Kalau berkaki lima malah aneh. Memang orang China beranggapan angka empat berarti jelek, tetapi untuk orang Jawa, itu angka baik," ujarnya.

Selain itu, rumah yang dimiliki Achmady sejak sebelum menjadi Bupati Mojokerto di Jalan Pekayon juga nomor 4. Rumah nomor empat itu juga diyakini membawa hoki untuk Achmady. "Saya tidak akan mengubah rumah saya (di Pekayon) sebab setiap rumah ada kekuatan magisnya," tambah suami Laliek Maftuchah itu.

Soal angka 4, Gus Dur sendiri tidak terlalu mempersoalkan. Ketika ditanya tanggapannya atas nomor urut 4 untuk pasangan Achsan, Ketua Umum Dewan Syuro PKB itu hanya berkata singkat, "Pokoknya dadi! Sudah banyak tanda-tandanya. Enggak ada (calon) lainnya." Namun, Gus Dur menolak menyebutkan tanda-tanda yang dilihatnya. Bila disebutkan, tambahnya, malah akan membuat orang lain mengatakan itu dibuat-buat.

Tentu saja itu membangkitkan optimisme Achmady. Kegembiraan lelaki kelahiran Mojokerto pada 8 November 1950 itu juga membuncah karena Gus Dur memastikan akan turun dalam kampanye pasangan Achsan selama dua minggu penuh. Tentu saja, kharisma Gus Dur untuk mendapatkan suara warga nahdliyin merupakan kekuatan bagi Achmady.

Santai, santai

Bagi semua calon, ajang pilkada boleh adu strategi. Tak heran ada sejumlah calon yang tidak lepas begitu saja mengumbar gagasan-gagasan  yang strategik. Barangkali Achmady juga termasuk calon yang kelihatannya cukup berhati-hati. Sejumlah pertanyaan wartawan terkait visi misinya sebagai cagub dan caranya menangani masalah Jatim, misalnya, Achmady sepertinya lebih memilih jawaban yang normatif. Tentang pertanyaan itu, dia hanya akan menjawab singkat, "Hal itu akan dioptimalkan supaya kesejahteraan meningkat".

Tetapi dari sisi kepribadian, Achmady justru dikenal cukup santai. Bahkan, dalam kesehariaannya tidak terlalu kaku dan birokratis. Menurut Irwan, sang ajudan, Achmady memang tidak terlalu kaku. Sikap formal hanya ditampakkan pada acara-acara resmi. Bahkan saat memasuki rumah, lanjut Irwan, Achmady bisa melangkah berjingkat-jingkat sambil mengayunkan tangan ke depan dan belakang. Jaritelunjuknya diacungkan sementara dengan paras jenaka mulutnya mengucap, "Santai, santai."

Mengenai sikap Achmady kepada para staf yang  tidak kaku, menjadi terasa wajar mengingat pengalamannya yang menapak pemerintahan dari jenjang terbawah. Pada tahun 1973 Achmady adalah pembantu juru parkir Pasar Pohjejer, Mojokerto, yang bertugas menarik retribusi. Baru setahun kemudian, lulusan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel tahun 1973 ini menjadi staf di Kecamatan Gondang.

Tahun itu pula dia mendapat tugas belajar di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Malang sampai tahun 1978. Nasib Achmady pun mulai berubah menjadi camat di Trawas dan Bangsal hingga terpilih sebagai Bupati Mojokerto selama dua periode pada tahun 2000-2005 dan tahun 2005-2010.

"Memang orang China beranggapan angka empat berarti jelek, tetapi untuk orang Jawa, itu angka baik." Achmady.

 

KOMPAS Jawa Timur, Jumat, 20-06-2008. Halaman D

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com