Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekalahan yang Heroik

Kompas.com - 27/06/2008, 05:11 WIB

Di samping itu semua, Terim juga berjiwa patriotik. ”Saya menentang eropanisasi. Eropanisasi dalam segala aspek bukanlah suatu modernisasi. Kita harus pandai memilih dan mengambil, mana yang baik dan indah bagi kami,” kata Terim.

Rindu untuk memiliki identitas yang asli itu juga ditunjukkan Altintop. Altintop lahir dan dibesarkan di Gelsenkirche, Jerman. Toh, ia memutuskan membela Turki. ”Saya tidak berhenti menjadi Turki, tak peduli di negara mana saya hidup. Karena itu, saya memutuskan bermain di timnas Turki,” kata Altintop.

Masalah Altintop dan juga Hakan Balta, yang dilahirkan di Berlin, memang sempat menimbulkan polemik politik. Politikus perempuan dari Partai Hijau, Claudia Roth, mempertanyakan, bagaimana mungkin pemain seperti Altintop dan Balta tidak masuk dalam kader timnas Jerman, padahal mereka dilahirkan dan dibesarkan di Jerman. ”Sekali lagi ini menunjukkan bahwa politik integrasi di Jerman tidaklah berfungsi,” kata Roth.

Masalah tersebut memang patut dipertanyakan. Soalnya, dalam timnas Jerman juga terdapat pemain yang tidak murni Jerman, seperti Miroslav Klose dan Lukas Podolski, yang berasal dari Polandia. Mengapa pemain yang berdarah Turki dan dilahirkan serta besar di Jerman sampai sekarang belum pernah main untuk timnas Jerman?

Syukurlah, masalah perbedaan ras ini tidak merebak sampai ke dalam dunia sepak bola. Sejak tahun 1998, Turki sendiri malah membentuk tim pemandu bakat, yang bertugas mencari pemain-pemain berbakat berdarah Turki yang bermain di liga Eropa. Semboyan tim ini dirumuskan Erdal Keser, profil berdarah Turki yang pernah merumput di Bundes Liga. Semboyan tersebut berbunyi, ”Disiplin dan Hati—Kami mesti memadukan apa yang terbaik dari kedua kultur.”

Itulah sepak bola. Kendati tiap kesebelasan nasional mempunyai ciri khas, identitas, dan rasa nasionalisme, mereka tetap hanya mempunyai satu bahasa, yakni bahasa bola. Bahasa bola itu hanya bisa mempersatukan, tak pernah memecahkan. Betapa pun pertandingan Jerman melawan Turki kemarin sarat dengan emosi nasionalisme dan perbedaan identitas, toh pertandingan itu berjalan dengan damai dan fair karena masing-masing memakai satu-satunya bahasa, yakni bahasa bola.

”Kedamaian dan kesatuan itu adalah warna dari kehidupan. Namun, betapa jarang kita menemui hal demikian dalam kehidupan. Hanya bola yang bisa memberikannya. Karena itu, bagaimana saya bisa tidak mencintai bola,” kata penulis roman Turki, Mario Levi. Memang, alangkah indahnya jika dunia yang penuh persaingan dan perbedaan ini bisa hidup damai seperti dalam dunia sepak bola.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com