Dari Redaksi:
***
Oleh Wartawan Kompas, Mohammad Subhan
MENJELANG usia 76 tahun tak berarti loyo. Guru besar emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, seakan mematahkan cap tentang “orang sepuh” itu. Bukan hanya kondisi fisiknya yang masih terlihat bugar, tetapi yang lebih penting adalah semangatnya yang energik, serta gagasannya tentang demokrasi, keadilan, hukum, terus bergulir.
Maret lalu, misalnya, ia masih memberikan “kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Dalam kuliah yang digelar Fakultas Hukum Unair itu, Soetandyo menyoroti perjanjian jual-beli yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan kehendak kepada warga untuk menjual hak milik mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu hendak menyadarkan pengungsi akan hak-hak mereka dan cara memperjuangkannya.
Keberpihakannya membela orang kecil juga dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di dekat rumahnya di kawasan kampus Unair, Jalan Dharmawangsa, Surabaya. Ketika PKL itu digusur, ia malah membela PKL yang sebetulnya mengganggu lingkungan rumahnya itu. Sebaliknya, ia melarang petugas yang melakukan penertiban itu. Buat Soetandyo, gangguan PKL yang diterimanya itu belumlah apa-apa dibanding perjuangan PKL mencari makan demi hidup. Rasa kemanusiaannya mengalahkan gangguan yang dialaminya.
Bagi anggota Komnas HAM 1993-2002 itu, pensiun sejak 10 tahun silam, tak lantas “berhenti berpikir”. “Kegiatan saya tidak ada, kecuali menyibukkan diri sendiri,” canda pria kelahiran 19 November 1932 ini. Tetapi faktanya, ketika banyak orang berpikir untuk istirahat di masa pensiun, guru besar sosiologi dan pakar administrasi pemerintahan ini malah disibukkan banyak kegiatan. Desember 2007, penulis sejumlah buku ini masih meluncurkan karya terbarunya, Hukum dalam Masyarakat.
Sebagai profesor emeritus, hingga kini Soetandyo masih mengajar di sejumlah universitas seperti Universitas Surabaya dan Universitas Diponegoro (Semarang), menulis artikel, memberikan konsultasi pada mahasiswa termasuk menguji mahasiswa di Malaysia, berdiskusi dengan berbagai kalangan, memberi ceramah di sejumlah kota. Bahkan ia masih aktif di Huma, lembaga nonpemerintah yang bergerak masalah hukum berbasis ekologi.
Kemauan beradaptasi
Namun, sebagai orang yang usianya tidak muda lagi, ia sadar betul. Karena itu, ia menolak membimbing skripsi atau tesis, karena berisiko bagi mahasiswanya. “Di FISIP Unair sempat ada seorang guru besar membimbing 12 mahasiswa S-2, tanpa ko-promotor. Lalu saat beliau wafat, (nasib) 12 orang itu pun terbengkalai. Ketika berumur 65 tahun, saya tidak mau membimbing lagi, karena butuh waktu lama. Kalau konsultasi yang tidak mengikat, ya bolehlah. Umur itu di tangan Tuhan,” ujar Soetandyo yang mantan Dekan FISIP Unair itu.