Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keajaiban Membutuhkan Waktu

Kompas.com - 20/06/2008, 07:14 WIB

oleh Sindhunata

Sepak bola bukan sekadar permainan keras. Sepak bola juga bagian dari alam rasa. Tak heran jika sepak bola bisa bersentuhan dengan musik. Malahan mungkin musik bisa memberikan inspirasi pada permainan sepak bola.

Bukan rahasia, pemain bola dunia suka mendengarkan musik sebelum pertandingan. Itu terjadi juga pada pemain kesebelasan Belanda. Di antara mereka, Wesley Sneijder dikenal sebagai disc jockey (DJ) yang mempersiapkan musik dari iPod-nya.

Musik itu kemudian diperdengarkan lewat pengeras suara sehingga bisa dinikmati kawan-kawannya. ”Saya sudah minta izin kepada trainer, dan ia setuju. Pada tiga pertandingan internasional, kami sudah mencobanya. Ternyata musik itu memberi atmosfer yang baik bagi kami,” ujar Sneijder.

Guus Hiddink juga suka musik. Menjelang pertandingan melawan Yunani, setelah kalah telak dari Spanyol, Hiddink dan anak-anaknya berada di kota Salzburg, kota musikus besar Wolfgang Amadeus Mozart.

Teringat Mozart, Hiddink langsung terinspirasi oleh bahasa musik untuk melukiskan kekalahan timnya. ”Melawan Spanyol, sebenarnya kami memainkan musik yang indah. Namun, akhirnya kami terbenam karena memainkan nada-nada yang sumbang,” katanya.

Mozart ternyata juga menjadi inspirasi luar biasa bagi pelatih sekaliber Giovanni Trapattoni, yang sekarang melatih Irlandia. ”Siapa mendengarkan Mozart, dia akan bermain bola dengan lebih baik,” kata Trapattoni.

Menurut Trapattoni, dari musik klasik, seperti musik Mozart, pemain bola bisa belajar banyak tentang tempo, irama, dan struktur permainan. Juga tentang bagaimana permainan harus dikendurkan, kemudian dikencangkan lagi. ”Orang akan belajar logika untuk membaca permainan. Saya sendiri percaya, lewat musik, saya tumbuh menjadi pemain bola sekaligus manusia,” katanya.

Trapattoni menyayangkan, sekarang pemain muda tak menyukai musik klasik. Pendapat itu kiranya tidak seluruhnya benar. Kalangan muda juga mencintai musik walau bukan musik klasik. Contohnya adalah Pelatih Kroasia Slaven Bilic.

Bilic, pelatih termuda dalam Piala Eropa 2008, tidak hanya penggemar, tetapi juga pemain musik. Ia adalah gitaris band metal Rawbau. Bilic memang juga seorang roker, yang dikenal amat berapi-api bila memainkan gitarnya.

Bilic amat mengagumi roker Marko Perkovic. Di negerinya, Perkovic—yang nama artisnya adalah Thompson—dikenal sebagai roker berhaluan kanan. Salah satu lagu ciptaan Thompson yang digemari Bilic adalah Lijepa Li Si, yang artinya betapa indah dirimu. Lirik lagu ini berkisah tentang romantisme cinta akan tanah air.

Setelah melawan Austria, pemain-pemain Kroasia tertunduk dan murung. Mereka kelihatan tidak puas karena hanya menang 1-0. ”Menyanyilah,” perintah Bilic. Dan, mereka pun menyanyikan lagu kecintaan akan tanah air ciptaan Thompson. ”Lijepa Li Si adalah lagu indah, kami dan fans Kroasia suka menyanyikannya,” katanya.

Bilic adalah pelatih berjiwa muda. Ia bertato dan memakai anting-anting. Ia yakin memiliki otoritas alami.

”Untuk menunjukkan otoritas itu, saya tidak perlu gembar- gembor bahwa saya adalah bos dan lainnya harus tutup mulut serta menurut. Bagi saya, otoritas adalah pengetahuan, tak lebih tak kurang,” katanya.

Selain sebagai orang bola dan roker, Bilic juga orang yang berjiwa patriotik. Ia pernah bilang, pemain bola ibarat serdadu yang bertempur untuk negaranya. ”Sekarang pun saya tahu bahwa negara membutuhkan saya,” katanya.

Sabtu dini hari WIB nanti, Bilic dan anak-anaknya perlu berhati-hati karena pemain-pemain Turki pun siap bertempur membela negaranya. Memang begitu menggulung Ceko dengan amat mengejutkan, nasionalisme Turki pun ikut bangkit.

Harian Turki, Milliyet, menyebut kemenangan fantastis itu sebagai ”lagu kepahlawanan”. Dan beginilah tulis koran setempat, Türkspor, ”Ibumu telah melahirkan kalian untuk hari semegah ini. Pantas bila orang mendirikan tugu peringatan untuk kalian. Permainan kalian akan menjadi isi sejarah. Tentangnya kami akan bercerita kepada anak cucu. Allah akan meratakan jalan kalian ke final.”

Kemenangan Turki memang luar biasa. Pelatih Denmark Sepp Piontek, yang pernah mengarsiteki Turki pada awal tahun 1990-an, memuji habis kehebatan mereka. Waktu itu Piontek dibantu asisten Fatih Terim, pelatih Turki sekarang. ”Dulu pemain Turki selalu menyongsong pertandingan dengan penuh semangat. Namun, begitu ketinggalan, mereka langsung patah semangat,” ujar Piontek.

Kondisi berubah. Dalam Piala Eropa ini, dua kali mereka ketinggalan dan dua kali pula mereka menyusul dengan mengejutkan. Malah mereka menggilas Ceko dengan begitu mengenaskan. ”Pemain Turki telah membuat apa yang tidak mungkin menjadi mungkin,” kata Piontek.

Terim adalah pengagum Piontek. Di kantornya, di Istanbul, terpancang tulisan yang menjadi moto Piontek 20 tahun lalu, ”Tak ada yang tidak mungkin. Keajaiban membutuhkan waktu.” Bagi Turki, waktu itu telah datang. Dan mungkin datang lagi kalau nanti mereka bisa menggulung Kroasia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com