Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melongok Peluang Kerajinan Batu Fosil

Kompas.com - 16/06/2008, 07:14 WIB

Hobi seringkali mendatangkan keuntungan yang tak terkira. Adalah Ipay Rifai, warga Cikande, Serang, Banten yang merasakan betul rejeki dari hobinya itu. Ia memang mempunyai hobi yang rada unik, yakni berhubungan dengan fosil.
Lewat sisa-sisa tumbuhan zaman purba itulah, Ipay menjadi seniman fosil yang mumpuni. Hebatnya, uang pun kini mengalir deras ke koceknya.

Hobi Ipay mengulik-ulik fosil itu bermula tahun 2002 silam, kala dia bekerja membuat kerajinan dari fosil di perusahaan orang. Tapi kemudian ia memutuskan mengembangkan usaha sendiri bersama keluarganya. Ipay memilih fosil bukan tanpa alasan. Bebatuan berumur jutaan tahun itu memang sangat banyak ditemui di sekitar tempat tinggalnya. "Semakin tua umur batu, maka semakin mahal harganya," katanya.

Untuk mencari fosil, ia cukup menancapkan sebuah besi panjang ke tanah sedalam dua hingga tiga meter. Nah, jika besi yang dihujamkan berbenturan dengan batu, ia yakin bahwa itu fosil. Selanjutnya, ia tinggal menggalinya saja.
Selama ini, Ipay mengaku tidak hanya mencari fosil di lahan miliknya. Dia juga mencari fosil itu di lahan milik tetangganya. Jika menemukan fosil, biasanya ia membicarakan harga yang pantas untuk batu-batu tersebut. "Biasanya, sih, barter dengan kebutuhan mereka seperti pupuk atau yang lain," tuturnya.

Bahan baku terbatas

Namun, ada juga masyarakat yang meminta agar batu-batu tersebut ditukar dengan uang. Soal harganya, sangat bervariasi. Tergantung kesepakatan. Menurut Ipay, ada yang meminta harga fosil Rp 200 per kilogram (kg), namun ada juga yang memasang harga Rp 500 per kg.

Dalam satu bulan, biasanya Ipay bisa mendapatkan batu sebanyak 22 ton dengan berbagai ukuran. Mulai dari dari yang berukuran 5 kg hingga 2 ton per batu. Dari bahan baku sebanyak itu, ia hanya mampu memproses sebanyak 16 ton saja. "Dengan bahan baku sebanyak itu, saya menghasilkan sekitar 500-an produk berbagai ukuran," jelas Ipay.

Namun, belakangan dia mulai agak kesulitan mencari bahan baku. Sebab, lantaran semakin banyak lahan dibeli orang Jakarta, Ipay pun jadi sulit mencari bahan baku fosil. "Terpaksa saya mencari hingga keluar kampung," keluhnya.

Setelah mendapatkan fosil, Ipay lantas mencari tahu bentuk yang pantas untuk batu itu. "Cocoknya dibuat apa?" katanya. Setelah tahu, kemudian ia mulai memperhalus batunya dengan ampelas atau membentuknya dengan gerinda.
Dari batu-batu itu, Ipay bisa membuat bath up, wastafel, kursi, bangku, meja, asbak, dan lain sebagainya. Tapi, ada juga pelanggan yang minta dibuatkan prasasti.

Lama mengolah fosil tergantung tingkat kesulitannya. Untuk bath up, ia membutuhkan waktu sepuluh hari non stop. Sementara untuk ukiran atau prasasti hanya butuh waktu hingga 36 hari. Yang paling mudah dibuat adalah asbak. Dalam sehari ia bisa membuat 20 asbak.

Lama pembuatan tentunya juga mempengaruhi harga jual. Untuk satu asbak, Ipay hanya menjual Rp 60.000 - Rp 150.000. Sementara untuk wastafel biasanya ia jual seharga Rp 6 juta hingga Rp 7 juta. Bangku ia tawarkan Rp 8.000 per kg hingga Rp 12.000 per kg. Sedangkan untuk bath up ia jual dengan harga Rp 12 juta - Rp 15 juta.

Saat ini, Ipay memiliki 27 karyawan. Sebelumnya, ia hanya mengerjakan bersama isteri dan anak-anaknya. Keuntungan yang diraup Ipay pun melesat. Saat ini, ia mengaku mengantongi omzet Rp 180 juta sebulan. Ipay memaparkan, dia memasarkan produknya ini ke Bali. Dari situ, barang diekspor ke luar negeri. Makanya, Ipay berharap pemerintah mampu membantu pemasaran produknya. Soalnya, ia hanya bisa memasarkan lewat pameran. (Abdul Wahid Fauzie)

=====================
Ipay Rifai
Jalan Raya Cikande, Rangkas
bitung Km. 2, Cikande,
Serang, Banten
Telepon: 0813 8180 6009

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com