Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Tulis Tegal Terancam Kehilangan Generasi

Kompas.com - 06/06/2008, 18:00 WIB

TEGAL, JUMAT - Pendapatan pembuat batik Tegal semakin tidak memadai. Pasalnya, harga bahan baku semakin mahal, sementara harga jual kain batik tidak mengalami kenaikan. Saat ini, batik tulis Tegal terancam kehilangan generasi, karena sebagian besar generasi muda di sana memilih bekerja ke Jakarta sebagai penjaga warteg.

Waridah (43), pembatik tulis di Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, Jumat (6/6) mengatakan, sejak terjadi kenaikan harga BBM, harga bahan baku batik kian mahal. Harga kain naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 26.000 per potong ukuran 1,15 x 2,2 meter persegi, harga lilin batik naik dari Rp 12.000 menjadi Rp 15.000 per kilogram, dan harga obat naik dari Rp 2.000 hingga Rp 2.250 per bungkus.

Untuk menghasilkan satu lembar kain batik, dibutuhkan setengah kilogram lilin dan lima bungkus obat. Selain itu, ia juga membutuhkan dua liter minyak tanah untuk proses pembatikan. Harga minyak tanah di pengecer juga naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 4.000 per liter.

Dalam sebulan, ia hanya menghasilkan tiga lembar kain batik. Kain batik tersebut dijual ke pedagang Rp 80.000 per lembar. Ia kesulitan menjualnya ke konsumen secara langsung, karena tidak memiliki akses ke sana.

Menurut Waridah, akibat kenaikan harga bahan baku, pendapatan pembatik semakin tidak memadai. Padahal, waktu pembuatannya sangat lama. Rata-rata dalam sehari ia menghabiskan waktu empat hingga enam jam untuk membatik.

Wami (55), pembatik lainnya juga mengeluhkan kenaikan harga bahan baku. Kenaikan harga bahan baku tersebut tidak diimbangi dengan kenaikan harga jual kain batik. Selama ini, sebagian pembatik masih tergantung pada pedagang batik.

Padahal, membatik merupakan pekerjaan utama kaum perempuan di sana. Mereka membatik di sela-sela mengerjakan tugas sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan sebagai pembatik digunakan untuk menyokong penghasilan suami yang rata-rata bekerja sebagai pedagang dan buruh.

Saniah (51), pembatik lainnya mengatakan, sebenarnya permintaan batik selalu diperoleh secara lancar. Berapa pun kain batik yang diproduksi selalu terserap ke pasar. Namun, harga jual yang diperoleh masih tidak memadai.  

 

Tidak memadainya pendapatan pembatik, mengancam kelangsungan generasi pembatik tulis Tegal. Menurut Waridah, saat ini generasi pembatik yang ada merupakan generasi tua. Hampir semuanya sudah berstatus sebagai ibu rumah tangga.

Sebagian besar generasi muda enggan menjadi pembatik tulis. Sejak beberapa tahun terakhir, mereka memilih merantau ke Jakarta, dan bekerja sebagai pedagang atau penjaga warteg. Pendapatan yang diperoleh sebagai penjaga warteg sekitar Rp 500.000 per bulan. Dengan kondisi yang ada saat ini, profesi pembatik tulis semakin tidak diminati.

Anak tunggalnya, Maryati (25) juga memilih menjadi pedagang warteg di Jakarta. Akibatnya, Waridah hanya sendirian membatik di rumahnya. Biasanya yang masih mau membatik hanya perempuan-perempuan yang sudah menikah dan punya anak. "Kalau masih gadis, mereka memilih ke Jakarta, yang ada hasilnya," ujarnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com