Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengalaman Bermalam dengan Suku Kadazan

Kompas.com - 03/06/2008, 09:24 WIB

"Kopivosian. Ono habalnu (Selamat datang, apa kabar)," demikian  kata-kata yang biasa diucapkan warga suku Kadazan di Kampung Papaga, Sabah, Malaysia. ketika berjumpa dengan seseorang.
   
Dalam Wikipedia disebutkan, Kadazan masuk dalam kategori subetnik suku Dayak. Kadazan bersama dengan suku Dusun yang tinggal berdekatan adalah kelompok etnik terbesar di Sabah. Ada 32 etnik di negara bagian itu. Sekilas memandang, perawakan mereka seperti kebanyakan keturunan China di Malaysia. Kulitnya kuning langsat. Matanya kecil dan sipit, seperti bulan sabit terbalik. Namun, ternyata mereka memiliki kebudayaan yang jauh berbeda dan sangat khas.
   
"Dahulu kami memang datang dari China. Namun, karena sudah lama menetap di Sabah, beradaptasi dengan budaya lokal," kata Moeng Dorote atau biasa dipanggil Grandma Dorote, seorang warga tertua di sana.
   
Kampung Papaga terletak di Tenggara Kota Kinabalu, ibu kota Sabah. Jaraknya sekitar 45 kilometer dari Kinabalu. Jika ditempuh dengan bus, sekitar 45 menit perjalanan dari Bandar Udara Kota Kinabalu. Kampung Papaga adalah salah satu tujuan wisata yang sedang dikembangkan di Sabah, khususnya untuk program homestay. Sejak lima tahun terakhir Malaysia terus mengembangkan wisata homestay untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya setempat. Dalam situs web Kementerian Pelancongan tercatat ada sekitar 40 tempat tujuan wisata homestay di Malaysia.

Menghargai orang lain
   
Beberapa waktu lalu 32 peserta International Journalism Fellowship yang diadakan Malaysia Press Institute, yang diikuti 13 negara, berkesempatan tinggal semalam dengan warga Kadazan. Berbeda dengan berlibur di hotel berbintang, di Papaga pelancong memang tidak bisa mendapatkan fasilitas kemewahan berkelas nomor satu. Namun, di sana, kita bisa menimba banyak pelajaran berharga tentang nilai kehidupan manusia yang mendasar, seperti sikap ramah-tamah terhadap sesama sampai sikap saling menghargai perbedaan.
   
Begitu rombongan tiba, warga Kadazan menyambut dengan wajah berseri, layaknya bertemu teman lama. Padahal, banyak peserta berwajah kecut karena melihat suasana perkampungan yang sederhana. Bahkan ada beberapa peserta yang beragama Islam yang merasa sangat cemas bermalam di sana. Hal itu karena di perkampungan itu banyak  anjing berkeliaran. Bagi kaum Muslim, anjing termasuk binatang yang diharamkan.
   
Beberapa peserta dari Kuala Lumpur bahkan terpaksa makan tanpa sendok yang disediakan tuan rumah. Mereka memilih makan dengan tangan. Ada juga yang tidak berani keluar rumah sendirian karena takut dikejar anjing. Rumah warga Kadazan, meski sudah berdindingkan tembok, sudah beratapkan genteng, dan memiliki parabola, tidak seluruhnya bersih. "Di kamarku ada tikus.," jerit seorang peserta perempuan dari Indonesia, ketika masuk kamar.
 
Peserta dari Arab Saudi lain lagi. Meski badannya sangat besar, dia sangat takut dengan serangga, seperti kecoa. Jauh hari sebelum berangkat, dia selalu khawatir dengan program homestay di Sabah. Memang, tidak semua peserta Muslim merasa terganggu. Partisipan dari Yaman, Sri Lanka, Arab Saudi, dan Afrika Selatan justru terlihat sangat menikmati perbedaan itu. "Pergi ke suatu tempat itu pikiran itu harus kita buka terhadap semua hal," ujar Abdul Wahab dari Yaman.
   
Tak disangka, keluhan itu rupanya sampai juga ke telinga tuan rumah. Untungnya, mereka tidak marah, tetapi memahami perbedaan budaya itu dan terus berusaha memberi pelayanan terbaik. Mereka pun sudah terbiasa menerima kunjungan wisatawan dari banyak negara. "Orang Jepang pernah tinggal di sini sebulan," kata Obot, salah seorang tuan rumah.
   
Obot bahkan sempat menanyakan hal sensitif itu secara terang-terangan kepada Toha, seorang peserta dari Kuala Lumpur. "Sarapan
besok pagi, bagaimana? Saya masak atau saya belikan saja di luar. Kamu- kamu yang Muslim kan tidak bisa makan masakan kita. Saya mengerti," ujarnya, sambil tersenyum.
   
Toha pun membalas dengan senyum dan penuh hormat untuk menjaga  perasaan sang tuan rumah. "Kamu atur saja bagaimana baiknya," kata Toha, dengan logat Malaysia yang kental.
  
Menurut Obot, salah satu nilai yang selalu diajarkan turun-temurun ke warga Kadazan adalah sopituhung-tuhung (tolong-menolong), mamantang do vokon (menghormati orang lain), dan mamantang do mohoing (menghormati orang tua).

Suasana kebersamaan
   
Untungnya suasana yang membeku itu semakin lama semakin mencair, terutama setelah warga Kadazan terus mengajak berinteraksi. Mereka bahkan tak segan-segan mengajak peserta melakukan banyak hal menarik dan menantang.
   
Kegiatan itu, mulai dari melintasi dance bridge (jembatan kayu yang tinggi dan panjang yang bergoyang-goyang), belajar membuat
pinompol (kue sagu), memancing, membuat atap dari daun youn umbeso (daun rumbia), sampai mongikin piasau (memarut kelapa), bahkan mencoba memakan vutot (ulat sagu putih dan besar yang berkepala coklat), baik itu mentah-mentah maupun dengan chili sauce.
   
Suasana kebersamaan berpuncak pada malam harinya. Mereka menyajikan Zumazau, tarian ucapan selamat datang dan Magunatip, tari
loncat bambu. Setelah itu mereka pun mengajarkan tarian tersebut kepada para peserta. Ada yang sempat terjatuh karena terjepit bambu ketika mencoba tarian Magunatip. Ada juga yang berhasil melintasi bambu mengikuti iringan maga gong, musik perkusi tradisional Kadazan yang mengalun dan mengentak.
   
Semua tertawa riang. Tidak ada lagi sekat-sekat perbedaan religiusitas atau peradaban antara peradaban primitif versus  modernitas. Yang ada hanya rasa humanitas. Pengalaman bermalam semalam dengan suku Kadazan ini memberi banyak pelajaran tentang hidup. Di tengah derasnya gerusan peradaban raksasa dan modern yang banyak mendominasi, Kadazan terbukti masih mampu memberikan nilai yang berharga bagi kehidupan.
   
Nilai itu tak hanya diucapkan di mulut, tetapi juga diaplikasikan dalam kehidupan keseharian mereka. Terbukti, mereka berhasil membuat partisipan yang semula mempunyai perasaan takut, cemas, dan tidak nyaman mendapatkan suasana riang gembira. Sebuah peradaban yang harus terus dikembangkan dan dijaga kelestariannya.
   
    Koto hoadan, terima kasih warga Kadazan.
    Guminavo zou diau, I love you.
    Gisom kopisomo vagu, sampai bertemu kembali.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com