Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Artikulasi Pembaruan Nurcholish Madjid: Kekuatan dan Batas-batasnya

Kompas.com - 08/05/2008, 02:22 WIB

Dalam teks ”proklamasi” pembaruan itu, Cak Nur mulai dengan menandaskan bahwa Islam di Indonesia sedang stagnan. Kaum Muslim menghadapi pilihan kritis: jalan pembaruan, yang meniscayakan peninjauan kembali makna Islam di dunia modern, dengan ongkos integrasi umat; atau pemeliharaan integrasi itu, dengan konsekuensi terus jumudnya pemikiran Islam dan hilangnya daya Islam sebagai moral force. Ia memilih jalur pembaruan, dan di ujung tulisannya ia mengusulkan proses liberalisasi berdimensi empat: sekularisasi, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Kekuatan gagasan itu adalah karena ia, meminjam Wuthnow, dekat tapi tak melekat dengan konteks terdekatnya. Pada tahun 1970-an dan sepanjang Orde Baru gagasan-gagasan itu nyambung dengan lingkungannya. Dalam teks di atas wakil terbaiknya adalah gagasan ”Islam Yes, Partai Islam No!” Penting diingat: Cak Nur tidak mengharamkan partai Islam. Yang ia katakan adalah bahwa partai Islam tidak niscaya merupakan wakil Islam; bagi seorang Muslim, mendukung partai Islam bukanlah sesuatu yang wajib.

Gagasan itu bergema di hati kelas menengah Muslim santri yang tertarik dengan panggilan Cak Nur untuk ”berdamai” dengan rezim—sebagian mereka malah berada di dalam rezim itu sendiri. Mereka ingin luar-dalam mencicipi pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6-8 persen per tahun, dengan ogah mengikuti garis Islam ”skripturalis”. Gara-gara gagasan Cak Nur itu, umat Islam tidak lagi merasa, meminjam Taufik Abdullah, ”Ahl Dzimmah di negeri mayoritas Muslim”. Yang juga tertarik menjadi audiens dan kemudian pendukung Cak Nur adalah kaum non-Muslim, juga nonsantri, yang merasa memperoleh semacam perlindungan dari ancaman Islam ”skripturalis”.

Gagasan itu juga sejalan dengan tumbuhnya institusi-institusi baru di dalam ataupun di luar rezim. Di dalam rezim ada kebijakan penciutan partai politik, program kerukunan umat beragama, dan lainnya, yang paralel dengan gagasan Cak Nur. Di luar rezim berlangsung Islamisasi yang secara umum terjadi di kota-kota besar (masjid atau musala di kantor-kantor, dsb). Generasi Muslim baru tumbuh, diwakili dengan baik oleh Cak Nur sendiri, yang harus ditampung dan ikut memainkan peran di dalam panggung yang lebih lebar: ”Indonesia”.

Harus juga disebutkan bahwa gagasan itu kukuh karena figur si pembawa gerbong. Latar pendidikan dan organisasi Cak Nur turut menopang substansi panggilannya. Ia dengan baik menguasai khazanah Islam, tetapi juga akrab dengan wacana modern. Ia kuat dalam lisan dan tulis. Lagi pun kepribadiannya yang santun, sederhana, dan jauh dari arogan membuatnya sulit diserang lawan-lawannya. Sebagai pembawa bendera, ia amat kredibel!

Namun, gagasan pembaruan juga timeless enough dan mengatasi kebutuhan jangka pendek masanya. Dalam teks di atas sisi yang lebih universal dan tahan lama ini kita temukan dalam panggilannya kepada sekularisasi (belakangan dilunakkan menjadi desakralisasi) sebagai realisasi tawhid, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Cak Nur menawarkan topangan Islam bagi tumbuhnya Indonesia yang modern dan partisipasi penuh umat Islam di dalamnya. Alih-alih menjadikan paham-paham di atas sebagai momok bagi Islam seperti umum dikenal sebelumnya, ia malah memandangnya sebagai bagian integral dari Islam yang modern dan menjanjikan. Dan yang lebih penting, bagi kalangan non-Muslim dan nonsantri, sokongan pembaruan atas paham-paham di atas memberi jaminan keislaman bahwa pluralisme Indonesia akan terus ditegakkan. Tidak heran jika, seperti sering diceritakan Cak Nur sendiri, pihak yang paling antusias menyambut proklamasi pembaruan adalah kalangan sekular Indonesia, seperti diwakili harian Indonesia Raya, Pedoman, dan Kami

Pada tingkat praktis, gagasan-gagasan yang timeless di atas menjadikan Cak Nur tidak enggan berseberangan dengan pemerintah, yang beberapa kebijakannya turut menguntungkannya. Pada 1971 dan 1977, misalnya, dalam rangka demokratisasi dan balancing-power politics, ia mendukung PPP. Baginya, ini penting dalam rangka ”memompa ban kempis” untuk menyeimbangi Golkar (pemerintah). Belakangan juga kita tahu bahwa Cak Nur menjadi salah seorang pionir dalam pengembangan budaya oposisi dan keterbukaan: ia terlibat dalam pembentukan KIPP, demokratisasi secara damai, dan seterusnya. Aliansi Cak Nur dengan banyak aktivis LSM berawal dari sini.

Ringkasnya, memarafrasekan Wuthnow, Cak Nur itu ”memanfaatkan sumber daya, ilham, inspirasi dari lingkungan terdekatnya: ia merefleksikannya, bicara kepadanya, menjadikan dirinya relevan dengannya. Namun, ia juga tetap cukup otonom dari lingkungan sosial terdekatnya itu sehingga ia bisa mewartakan seruan-seruan yang lebih luas, lebih universal, dan abadi.”

Pembaruan ditentang

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com