Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Imparsial: Hentikan Penyusunan RUU Komponen Cadangan

Kompas.com - 06/05/2008, 21:15 WIB

JAKARTA, SELASA - Lembaga monitoring Hak Asasi Manusia (HAM) Imparsial mendesak pemerintah tidak melanjutkan proses penyusunan draf RUU Komponen Cadangan mengingat rancangan aturan itu berpotensi memunculkan persoalan jika diterapkan.

Hal itu disampaikan Imparsial, Selasa (6/5), dalam siaran pers terkait hasil studinya mengkritik keberadaan RUU Komponen Cadangan itu. Turut hadir dalam jumpa pers Rusdi Marpaung, Al Araf, Bhatara Ibnu Reza, dan Cahyadi Satria.

”Penolakan kami bukan berarti menganggap isu mempertahankan negara tidak penting. Akan tetapi produk hukum ini setidaknya berbahaya, salah satunya, karena akan mentransformasi seorang warga negara biasa menjadi kombatan yang dalam konteks pertempuran sah untuk dibunuh,” ujar Rusdi.

Selain itu produk hukum yang akan diusulkan itu juga rentan disalahgunakan, terutama memungkinkan pemerintah melegalkan keberadaan paramiliter, yang bukan tidak mungkin akan diterjunkan menangani masalah keamanan seperti separatisme atau konflik komunal.

Terkait isu tertib anggaran, keberadaan Komponen Cadangan juga dipertanyakan mengingat sumber pembiayaannya. Dalam draf RUU penyediaan anggaran komponen tersebut dimungkinkan diambil dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Hal itu bertentangan dengan pasal 25 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara di mana isu pertahanan bersifat sentralistik atau dibiayai hanya dari APBN. Jika dibiarkan, kondisi seperti itu diyakini bakal mempersulit proses pengawasan dan pertanggungjawaban anggaran pertahanan.

Belum lagi soal potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam upaya menguasai berbagai sumber daya, baik alam maupun buatan, yang di dalam RUU Komponen Cadangan dikategorikan sebagai bagian dari sumberdaya nasional selain manusia (SDM), yang dapat dipakai atau direkrut untuk dijadikan unsur Komponen Cadangan.

Lebih lanjut belajar dari beberapa negara lain, yang sama-sama memiliki aturan serta kebijakan serupa seperti Amerika Serikat atau beberapa negara di Eropa Barat macam Jerman, setiap warga negara mereka dimungkinkan secara UU untuk menolak dilibatkan dalam ketentuan wajib militer, baik dengan alasan keyakinan atau pun moral.

Untuk konteks AS, aturan seperti itu disebut sebagai Conscientious Objector (CO) sementara di Jerman lebih terkait alasan medis atau disebut Ausmusterung, yang memungkinkan seseorang menolak wajib militer dan untuk itu mereka akan dikenai pilihan kewajiban lainnya macam alternatif pelayanan publik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

Nasional
Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Nasional
Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Nasional
Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Nasional
Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Nasional
Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Nasional
Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Nasional
Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Nasional
Selain 2 Oknum Lion Air,  Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Selain 2 Oknum Lion Air, Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Nasional
Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Nasional
Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Nasional
Suami Zaskia Gotik Dicecar soal Penerimaan Dana Rp 500 Juta dalam Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

Suami Zaskia Gotik Dicecar soal Penerimaan Dana Rp 500 Juta dalam Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

Nasional
Tambah Syarat Calon Kepala Daerah yang Ingin Diusung, PDI-P: Tidak Boleh Bohong

Tambah Syarat Calon Kepala Daerah yang Ingin Diusung, PDI-P: Tidak Boleh Bohong

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com