JAKARTA, SELASA - Lembaga monitoring Hak Asasi Manusia (HAM) Imparsial mendesak pemerintah tidak melanjutkan proses penyusunan draf RUU Komponen Cadangan mengingat rancangan aturan itu berpotensi memunculkan persoalan jika diterapkan.
Hal itu disampaikan Imparsial, Selasa (6/5), dalam siaran pers terkait hasil studinya mengkritik keberadaan RUU Komponen Cadangan itu. Turut hadir dalam jumpa pers Rusdi Marpaung, Al Araf, Bhatara Ibnu Reza, dan Cahyadi Satria.
”Penolakan kami bukan berarti menganggap isu mempertahankan negara tidak penting. Akan tetapi produk hukum ini setidaknya berbahaya, salah satunya, karena akan mentransformasi seorang warga negara biasa menjadi kombatan yang dalam konteks pertempuran sah untuk dibunuh,” ujar Rusdi.
Selain itu produk hukum yang akan diusulkan itu juga rentan disalahgunakan, terutama memungkinkan pemerintah melegalkan keberadaan paramiliter, yang bukan tidak mungkin akan diterjunkan menangani masalah keamanan seperti separatisme atau konflik komunal.
Terkait isu tertib anggaran, keberadaan Komponen Cadangan juga dipertanyakan mengingat sumber pembiayaannya. Dalam draf RUU penyediaan anggaran komponen tersebut dimungkinkan diambil dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Hal itu bertentangan dengan pasal 25 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara di mana isu pertahanan bersifat sentralistik atau dibiayai hanya dari APBN. Jika dibiarkan, kondisi seperti itu diyakini bakal mempersulit proses pengawasan dan pertanggungjawaban anggaran pertahanan.
Belum lagi soal potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam upaya menguasai berbagai sumber daya, baik alam maupun buatan, yang di dalam RUU Komponen Cadangan dikategorikan sebagai bagian dari sumberdaya nasional selain manusia (SDM), yang dapat dipakai atau direkrut untuk dijadikan unsur Komponen Cadangan.
Lebih lanjut belajar dari beberapa negara lain, yang sama-sama memiliki aturan serta kebijakan serupa seperti Amerika Serikat atau beberapa negara di Eropa Barat macam Jerman, setiap warga negara mereka dimungkinkan secara UU untuk menolak dilibatkan dalam ketentuan wajib militer, baik dengan alasan keyakinan atau pun moral.
Untuk konteks AS, aturan seperti itu disebut sebagai Conscientious Objector (CO) sementara di Jerman lebih terkait alasan medis atau disebut Ausmusterung, yang memungkinkan seseorang menolak wajib militer dan untuk itu mereka akan dikenai pilihan kewajiban lainnya macam alternatif pelayanan publik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.