Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riwayat Kota dalam Semangkuk Laksa

Kompas.com - 04/05/2008, 15:19 WIB

MASA lalu sebuah kota tak hanya bisa dilihat dari arsitektur bangunan-bangunan lama atau benda-benda peninggalan di museum saja. Jejak sejarah itu pun bisa dituang ke dalam mangkuk dan kita cecap dengan lidah.

Mulai dari rasa, bahan-bahan pembuatnya, hingga cara meracik, memasak, dan menyajikan makanan-makanan itu, semua bercerita tentang masa lalu Buitenzorg. Di Jalan Suryakencana, kita dapat menjumpai artefak kuliner ini.

Beberapa ratus meter dari Gerbang Utama Kebun Raya Bogor (KRB) ke arah Tajur, tepat di samping Toko Ngesti, ada Jalan Ranggagading di sebelah kanan. Hingga era 1970-an, jalan ini masih menjadi salah satu pusat aktivitas warga Bogor dengan keberadaan Sekolah Kesatuan dan Bioskop Ranggagading, atau lebih dikenal dengan Bioskop City.

Seperti layaknya pusat keramaian kota, di depan bioskop itu banyak penjual makanan dan jajanan. Tiga jenis makanan yang lazim dijual waktu itu adalah laksa, soto kuning, dan nasi uduk khas Bogor.

Kini, bioskop itu sudah lama tutup dan tinggal tersisa tembok bagian depannya saja. Sekolah Kesatuan juga sudah pindah ke Jalan Pajajaran. Keramaian pusat kota sudah lama pergi dari Ranggagading.

Namun, pedagang nasi uduk pikul dan pemilik warung laksa serta pelbagai penganan masa lalu masih setia berjualan di situ. Dari penampilan dan cara berdagang kedua penjual makanan itu, mereka seolah terperangkap kapsul waktu dari era beberapa puluh tahun lalu.

Bersahaja

Yang disebut warung laksa di tempat itu hanyalah naungan kecil yang menempel di pagar sebuah toko. Cara meracik dan penyajian laksa sangat orisinal dan tradisional, sebutir telor rebus yang sudah dikupas, dikerat dengan seutas benang. Kuah laksa kuning kental itu dipanaskan dengan arang.

Meski begitu, laksa yang bersahaja ini sangat digemari orang Bogor dan terkenal dengan sebutan Laksa Kampung Cingcau atau Laksa Pak Ucim. ”Saya berjualan laksa turun-temurun dari ayah. Sejak bioskop ini dibangun tahun 1955, ayah saya sudah jualan di sini,” kata Ace Hasyim (44).

Tak kalah sederhana adalah nasi uduk pikul yang membuka dagangan hanya beberapa meter di sebelah laksa Pak Ucim. Warga Bogor yang pernah bersekolah di Sekolah Kesatuan atau beraktivitas di situ pasti mengenal nasi uduk yang dinamakan Nasi Uduk Mawi ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com