Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlu 17 Tahun untuk Menjadi Bahasa Nasional

Kompas.com - 18/03/2008, 23:56 WIB

SOLO, SELASA--Dilihat dari perjalanan sejarah, bahasa Indonesia hanya memerlukan waktu yang singkat atau sekitar 17 tahun untuk menjadi bahasa kesatuan atau bahasa nasional.

Hal tersebut dikatakan Ketua Forum Bahasa Media Massa Pusat, T.D. Asmadi, dalam acara seminar Nasional "100 Tahun Kebangkitan Nasional Bahasa Politik dan Media Massa" di Hotel Grand Setiakawan Solo, Selasa malam.

Menurut Asmadi, jika ditinjau dari sejarah suatu bahasa, bangsa Indonesia mempunyai bahasa negara atau sebagai bahasa pemersatu dari Sumpah Pemuda tahun 1928 hingga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan bukan waktu yang lama. "17 tahun merupakan waktu yang singkat dari keinginan bersama menjadi kenyataan atau menjadi bahasa nasional, bahasa resmi, dan bahasa negara," katanya.

Bahasa Indonesia, kata Asmadi, jika dibandingkan dengan perjalanan bahasa Inggris yang menjadi bahasa resmi Amerika Serikat. AS merdeka tahun 1776  dan baru disepakati bahasa Inggris sebagai bahasa resmi menjadi bahasa nasional pada bulan Mei 2006.

"Negara AS saja memerlukan waktu lebih dari 200 tahun. Sementara Indonesia hanya 17 tahun sungguh suatu anugerah. Karena anugerah dari Yang Maha Kuasa sehingga kita berleha-leha menjaga dan membela bahasa Indonesia," katanya.

Ia mengatakan, dengan situasi politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang tertinggal, serbuan terhadap bahasa  Indonesia sangat luar biasa besarnya. Serangan terhadap bahasa asing terutama Inggris sangat gencar.

Para pemimpin dari semua kalangan lebih senang berbahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Indonesia, karena sedikit susah mencari padanannya.

"Saat ini muncul kata-kata busway, award dari kalangan yang semestinya memelopori penggunaan kata-kata Indonesia," katanya.

Selain itu, media massa yang kini cenderung memberitakan omongan orang pun terbawa arus tersebut. Fungsi pendidikan media diabaikan dan segi hiburan justru yang ditonjolkan.

Ia mencontohkan, munculnya kata eliminasi berarti menyisihkan, durasi atau lamanya waktu,  akupansi atau tingkat hunian, dan banyak lagi istilah teknis dari suatu instansi menjadi istilah publik.

Selain itu, munculnya akronim atau singkatan yang lebih memudahkan diri sendiri di antaranya, minyak goreng (migor) dan tempat kejadian perkara (TKP). Padahal hal itu belum tentu tepat.

Atas kesalahan-kesalahan berbahasa tersebut, pihaknya mengimbau dan mengajak media massa untuk memikirkan ulang penggunaan bahasa dalam tulisan. Bukan saja menepati kaidah-kaidah bahasa yang berlaku, melainkan juga mulai menciptakan istilah yang benar secara mandiri. (ANT)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com